01. Mama Satu Anak

295 15 0
                                    

"Putra Anda yang bernama Haikal Kalandra, tidak masuk sekolah selama satu bulan lebih. Saya harap, Anda mau datang ke sekolah, untuk membicarakan masalah ini bersama para guru."

Sebuah pesan dari sekolah, langsung membuat wanita berhidung mancung menghentikan pekerjaannya. Dia menepuk jidat, sebelum merapikan setiap pensil gambar dan sketsa desain yang baru saja dia buat. Di meja kerjanya, terdapat papan nama, dengan ukiran nama Risa Parmadita.

"Masalah klienku belum selesai, sekarang sudah ada masalah baru! Kenapa Haikal tidak masuk sekolah selama satu bulan lebih?" keluh Risa.

Tak pernah Risa bayangkan sebelumnya. Jika pernikahan impian yang selama ini dia impikan, berubah menjadi awal mimpi buruknya. Selain mempunyai tugas sebagai ibu dari satu anak, Risa juga harus menjadi tulang punggung keluarga. Hal ini disebabkan oleh sang suami yang jarang pulang dan tak pernah memberi uang.

Pekerjaan kantor dan pekerjaan rumah, tak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari Risa. Oleh karena itu, Risa terkadang kesusahan membesarkan remaja labil, yang saat ini duduk di kelas sepuluh IPS. Terlebih lagi, waktu kerjanya banyak menyita waktu, untuk memerhatikan sang anak.

"Haikal, jangan buat Mama darah tinggi lagi," batin Risa sembari berlari menuju sekolah. Jarak antara sekolah dan tempat Risa bekerja lumayan dekat. Jadi wanita itu memilih untuk pergi tanpa kendaraan.

Rambut panjang Risa tersapu angin siang. Keringat mulai membasahi kening, hingga jatuh ke pipi. Selama ini, Risa berjuang untuk membesarkan sang anak, tanpa bantuan suami. Itu pun karena kesalahannya sendiri, menikah terburu-buru tanpa mengetahui sifat asli suaminya seperti apa.

Risa menikah tanpa restu orang tua. Oleh karena itu, Ayahnya mengusirnya dari rumah. Pria itu tak sudi membesarkan gadis pembangkang yang sedang dibutakan cinta. Hanya Ibu Risa saja, yang selama ini diam-diam membantu Risa untuk bertahan hidup. Wanita itu mengajarkan Risa bertahan hidup, sekaligus memberikan uang kuliah dan membantu Risa mendapatkan pekerjaan. Malaikat tanpa sayap, Risa percaya, jika julukan itu sangat pantas disematkan pada sang ibu.

Sejujurnya, Risa tak kuat menjalani kehidupan seorang ibu tanpa suami. Wanita itu berulang kali menyesali keputusannya, karena tak mendengar apa yang orang tuanya katakan dulu. Namun, nasi telah menjadi bubur. Percuma menyesali apa yang telah terjadi. Dibanding menangisi semua ini, Risa bertekad untuk bertanggung jawab pada semua masalah yang dia buat sendiri.

"Akhirnya sampai juga!" batin Risa ketika melihat gerbang masuk sekolah anaknya. Dengan kecepatan tinggi, wanita muda itu masuk ke dalam sekolah. Dia tidak memedulikan pandangan semua siswa, yang dia lewati. Karena yang Risa inginkan hanyalah, datang tempat waktu untuk menghadiri rapat bersama para guru.

Di ruang guru, salah satu target sasaran penglihatan Risa adalah anaknya. Remaja laki-laki itu duduk di salah satu kursi. Dia dengan santainya menyandarkan punggungnya pada kursi. Sementara kakinya bersilang, begitu juga dengan keduanya tangannya yang menyilang di depan dada.

Tak ada rasa penyesalan saat namanya dipanggil untuk datang ke ruang guru. Haikal bahkan masih bisa menguap, ketika satu persatu guru BK mulai mewawancarainya.

"Percuma, Bu. Mama saya sibuk bekerja, Papa saya sudah seperti Bang Toyib. Beliau jarang ada di rumah. Mau kalian menunggu sampai kucing Mama saya bertelur pun, Mama saya tidak akan datang ke sini," jawab Haikal percaya diri.

Tepat di depan mata Risa sendiri, wanita itu melihat sang anak duduk dengan santainya. Spontan, tangan Risa mengepal kuat. Kakinya melangkah terburu-buru menuju Haikal. Suara hak sepatu bersentuhan dengan lantai, mulai terdengar jelas di kuping Haikal. Akhirnya Haikal mengubah posisi duduknya, saat menyadari ada wanita yang berdiri di sisinya. "Mama?"

Dari sorot mata tajam, dan kepalan tangan, Haikal bisa menebak jika Risa marah besar. Haikal meneguk ludahnya sendiri, sembari memejamkan kedua matanya. Dia pikir, Risa kan memarahinya. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Wanita itu mengusap lembut rambut sang anak, baru kemudian duduk di kursi samping anaknya.

"Jadi, sejak kapan anak saya yang terlampau rajin membolos ini, tidak masuk sekolah?" tanya Risa.

Satu persatu kebenaran mulai terbongkar. Haikal mengatakan akan pergi ke sekolah, tapi dia malah berbelok arah menuju warnet. Sudah satu bulan lebih lamanya, Haikal menggunakan uang sakunya untuk pergi ke tempat itu. Seharusnya Haikal sudah ditendang dari sekolah hari ini juga. Akan tetapi karena permintaan Risa, sekolah pun memberi Haikal satu kesempatan. Itu pun dengan syarat, Risa membayar lebih biaya pendidikan anaknya.

Tak ada yang lebih penting, dari pendidikan sang anak. Risa tak memedulikan berapa banyak uang pun, yang akan dikeluarkan demi pendidikan. Wanita itu berharap, Haikal bisa hidup jauh lebih baik dari hidupnya saat ini. Namun kenyataannya? Anak itu hanyalah seorang remaja puber, yang haus perhatian.

Di depan para guru, Risa masih bisa menahan amarahnya. Namun, tidak saat di rumah. Sejak sampai rumah, telinga Haikal sudah dijejali berbagai macam omelan sang ibu. Telinganya bahkan mendapatkan jeweran, dari tangan Risa. "Mama sengaja memilihkan sekolah paling bagus di kota ini, supaya kau bisa belajar dengan giat! Tapi apa yang kau lakukan? Kau malah rajin membolos? Mau jadi apa kau ke depannya nanti?"

"Kau ini pelajar! Pekerjaanmu belajar! Jangan cari pekerjaan tak penting di luar sana!" gertak Risa.

Haikal merasakan sakit di telinganya. Dia mencoba untuk melepaskan jeweran pada telinganya. Sekaligus menimpali ucapan sang ibu, "Mama saja sering membolos untuk melakukan pekerjaan seorang ibu. Kenapa aku tidak bisa membolos juga?"

"Itu karena Mama bekerja menafkahimu! Jika Mama tidak bekerja kita tidak akan makan! Kau ingin memakan batu?! Jangankan memakan batu, memakan makanan dingin saja kau tak mau. Untuk itu, Mama harus bekerja supaya kau makan," jelas Risa.

"Kalau begitu apa gunanya Ayah? Kenapa Ayah jarang pulang dan bahkan tidak memberikan uang? Padahal dia bekerja di luar kota!" balas Haikal.

"Setiap hari semua siswa menghinaku, karena Ayah jarang pulang seperti Bang Toyib! Tak jarang, mereka menggosipkan bahwa Ayah sudah menikah lagi!"

"Kalian pasangan serasi! Serasi membuat fokusku untuk belajar terganggu! Sampai setiap hari, aku harus menutup telinga mendengar perkataan tak bermutu mereka," jelas Haikal.

Perlahan tapi pasti, jeweran pada telinga Haikal terlepas. Risa terdiam, mendengar keluhan anaknya. Dia hanya bisa mematung, ketika Haikal mengusap-usap telinganya kemudian masuk ke kamarnya sendiri. Remaja itu tak sekali pun melirik ke belakang. Dia terlalu malas, berdebat dengan sang ibu lagi.

Satu tetes air mata jatuh mengenai pipi. Seandainya saja, Haikal tahu, apa yang dikatakan penggosip itu memang benar adanya. Sudah dipastikan, Haikal akan semakin marah. Selama ini, Risa menyembunyikan fakta, karena tak mau menyakiti hati kecil anaknya. Dia menunggu saat yang tepat, untuk mengatakannya. Namun, waktu itu tak kunjung datang. Risa masih tak sanggup, mengungkit semuanya.

Semua yang Risa lakukan saat ini, hanya untuk anaknya seorang. Alasan Risa tak bercerai, dan memilih bertahan adalah, karena tak mau Haikal hidup tanpa Ayah. Risa tahu, beratnya kehidupan anak dari keluarga terpecah. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk membiarkan suaminya menikah lagi, tanpa memutus hubungan di antara keduanya.

Tak ada satu pun niat Risa untuk bercerai dan menikah lagi. Risa takut memulai pernikahan baru dengan orang lain. Wanita itu lebih memilih fokus pada kariernya, untuk membesarkan sang anak. Impian Risa saat ini hanyalah, hidup bahagia bersama anaknya.

Akankah mimpi Risa untuk memiliki keluarga kecil bahagia terwujud? Ketika cobaan mulai membuat pikiran Risa stress?

•••

DUA KELUARGA [Lisa ft Haruto]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang