Pemeran Utama Wanita

221 54 6
                                    

Gadis kecil berusia 6 tahun dengan nama Hedia Utomo Irawan itu tersenyum manis ke arah kamera dengan orang tua di sisi kanan dan kirinya.

Hari ini adalah hari pertama gadis itu memasuki sekolah dasar. Resmi menjadi anak kelas satu di salah satu SD Swasta Internasional.

"Semangat, ya, Nak. Dengerin kata guru-guru di sekolah. Selalu baik ke temen-temen, ya," ujar Sang Ibu dengan lembut.

Hedia tersenyum lebar dan mengangguk semangat. "Hedia masuk dulu, ya, Ma, Pa."

Irene dan Sanjaya tersenyum manis. Badan keduanya kembali tegak untuk melepas kepergian anak mereka yang sangat bersemangat di hari pertama sekolah.

"Mama dan Papa semangat kerjanya!" teriak Hedia dari jauh. Tangan kecilnya melambai ke arah kedua orang tuanya.

.
.
.

"Ia gak mau les balet lagi, Ma," ujar gadis yang baru memasuki masa pubertas itu.

Hedia, atau nama kecil Ia (re: iya) itu belakangan ini memang banyak mencoba hal baru. Salah satunya adalah balet.

"Kenapa?" tanya Irene dengan lembut.

"Rasanya aku gak nemuin bakat aku di situ. Aku lebih suka ikut Papa kerja. Belajar hukum dan ketemu banyak orang."

Sanjaya terkekeh. "Ia mau jadi jaksa kaya Papa?"

Hedia mengedikan bahunya. "Masih belum tau. Ia juga seneng bantu Mama urus yayasan panti asuhan, panti jompo, dan rumah sakit."

Irene tersenyum lembut. "Yaudah, kamu selesaiin dulu masa latihan saat ini. Nanti kelas selanjutnya kamu gak usah lanjut. Harus bisa jalanin komitmen yang udah kamu pilih, ya, Ia."

"Iya, Ma. Terima kasih."

.
.
.

Hedia mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu di hadapannya.

"Masuk."

Hedia tersenyum kecil melihat Irene yang terlihat fokus menatap ke arah meja. Ia menutup pintu ruang kerja ibunya. "Permisi, Apa rumah sakit Harapan Utama butuh konsultan hukum?"

Irene mendongak dan membulatkan matanya. Ia segera berdiri dari duduknya untuk mengahmpiri sang anak. "Kamu kapan pulangnya, Nak?"

"Kemarin. Aku tidur di hotel dan langsung ke sini. Aku minta Pak Akmal buat taro barang di rumah."

Irene langsung memeluk anak gadisnya. "Aduh, Mama kangen banget sama anak gadis Mama."

Hedia tertawa dan membalas pelukan Irene. "Kalau Mama lupa, kita ketemu enam bulan yang lalu. Pas Mama lagi business trip ke Inggris."

Pelukan tersebut terlepas. "Mau baru tiga hari yang lalu kita ketemu, Mama pokoknya kangen sama kamu."

"Iya, iya," balas Hedia dengan kekehan geli. "Mama udah makan siang? Ayo kita makan dulu. Aku udah bilang ke Papa kalau aku ada di rumah sakit."

"Kita ke kafe bawah, mau? Sekalian nunggu Papa dateng. Hari ini Papa ada sidang."

Hedia menyatukan alisnya. "Sidang?"

Irene mengangguk. "Papamu walaupun udah jadi petinggi di Kejagung, gak mau berhenti sidang. Seneng banget dia penjarain dan miskinin koruptor."

Hedia terkekeh. "Padahal Papa katanya mau bikin law firm sama temennya tuh."

"Gak tau deh. Mungkin nunggu kamu pulang baru bikin law firm."

Irene berjalan lebih dahulu ke arah pintu dan membuka pintu ruang kerjanya. Ia membuka pintu dengan lebar agar Hedia keluar dari ruangannya terlebih dahulu.

Steal The Show   ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang