A Pretty Thing

181 55 11
                                    

"I think your smile are the warmest smile I've ever see. Senyum selalu, ya, Mas, ... ,"

"San. Nama saya, San."

Hedia membulatkan matanya dengan antusias. "No wonder your smile are warm. Your name it self already show it. Sun, matahari."

Ucapan antusias itu membuat Asta terkekeh. Entah mengapa merasa sangat lucu dengan ucapan gadis di hadapannya. Namun tidak lama, kekehan tersebut hilang. Asta berdeham dan kembali ke wajah datarnya. 

"Saya harus pergi."

Hedia tersenyum dan mengangguk. "Hati-hati. Sekali lagi terima kasih."

Asta mengangguk dan memutuskan untuk menaiki tangga darurat agar cepat pergi dari hadapan Hedia. 

.
.
.

Sudah satu bulan dari kegiatan Hedia di Bali, ia kini kembali menjadi seorang pengacara dengan otak lebih segar untuk berpikir. 

Tok tok tok

"Masuk," titah Hedia tangan yang sibuk mengetik dan mata yang menatap layar komputer. 

"Apa Ibu Hedia bisa diganggu?"

Hedia segera menoleh dan terkekeh mendapati Sanjaya yang sedang mengambil tempat di sofa tunggal yang berada di tengah ruangan. 

"Kenapa, Pa?"

"Besok Ia ikut Papa ke Istana Presiden, ya."

Hedia menatap bingung ke arah ayahnya. "Ngapain? Papa gak tiba-tiba diminta jadi staf khusus presiden, kan?"

Sanjaya tertawa ringan. "Nggak," jawabnya dengan ragu. "Nggak tau sih sebenernya," lanjutnya. "Tapi kalau iya, Ia setuju, gak?"

"Nggak!" tolak Hedia dengan tegas, berhasil menimbulkan gelak tawa dari Sanjaya. 

"Udah lah, Pa. Apa gak capek di lembaga pemerintahan terus? Lagian uangnya lebih banyak dari sini kan, daripada jadi staf khusus?"

"Iya, iya, nggak. Lagian Papa udah capek kerja. Kalau di sini kan Papa bisa santai, berleha-leha."

Hedia menatap kesal ke arah Sanjaya. "Oh, pantes aku kerjaannya banyak banget sampe cuman bisa tidur dua jam. Ternyata partner associate-nya berleha-leha."

Sanjaya kembali tertawa. "Ampun, Bu Bos."

"Aku aduin istri kamu, ya, Sanjaya."

"Heh, sopan kamu kaya gitu?"

Hedia mendengus. "Habis Papa ngeselin."

"Kan kemarin udah liburan ke Bali seminggu. Udah lah, cukup."

"Terserah."

.
.
.

Asta menghentikan langkahnya sejenak saat melihat Pratama yang berada di Istana Presiden. Tangannya segera terangkat melakukan hormat saat Pratama berada di hadapannya. Ia kembali menurunkan tangannya begitu Pratama sudah membalas hormatnya. 

"Silakan duduk sesuai dengan nama yang sudah disediakan," ujar Asta yang kemudian membukakan pintu besar kayu menuju ruang pertemuan bersama presiden. 

Setelah menutup pintu ruang pertemuan, Asta kembali berkeliling untuk berpatroli. Meskipun polisi militer sudah berjaga di beberapa titik, Asta tetap harus memastikan tidak ada celah untuk hal buruk datang. 

Asta segera menuruni tangga yang mengarah ke jalan utama saat ada beberapa mobil golf cart  nyaris sampai di depan istana. Ia berjalan cepat namun tetap dengan postur badan yang tegap, terlihat elegan. 

Steal The Show   ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang