One Way Train

164 55 5
                                    

Empat bulan sudah terlewati dengan penuh keluhan lelah dan pusing dari Hedia yang kini menjadi pengacara.  Berat badannya berhasil turun sepuluh kilogram. Meskipun begitu, pipi tembamnya tidak hilang sama sekali. Dada dan bokong masih sama besarnya. Hanya pinggang dan pahanya saja yang mengecil. Dan Hedia tentu saja senang dengan itu. 

Meskipun senang, Hedia sangat berharap bisa mendapat hidup seperti saat ia menjadi seorang pengasuh di panti. Percuma turun berat badan tetapi kualitas tidur juga turun. Dalam 24 jam, Hedia hanya tidur satu sampai tiga jam saja. Sisanya bekerja. 

Jam sudah menunjukan pukl 15.33 sore. Dan kejaksaan negeri menghubungi kliennya untuk pemeriksaan. Maka sebagai pengacara, Hedia harus mendampingi kliennya dalam pemeriksaan. 

"Masih inget jawaban yang harus dijawab, kan, Pak?" tanya Hedia seraya berjalan memasuki gedung kejaksaan. 

"'Saya gak inget', 'saya gak tau', 'itu bukan bagian saya'. Dan kalau pertanyaannya tricky, pakai hak untuk diem biar Bu Hedia yang jawab."

"Good. Sekarang tolong agak merendah dikit, jangan sombong. Biar jaksa yang periksa gak merasa tertantang sama bapak," ujar Hedia dengan tegas. "Jangan lupa untuk tahan dan kontrol emosi bapak. Jangan sembarangan jawab pertanyaan jaksa. Paham, pak?"

"Paham, Bu Hedia."

.
.
.

Hampir satu tahun lamanya Asta melakukan misi di luar negeri. Akhirnya ia kembali ke kampung halaman. 

Meskipun sedang tidak bekerja, Asta selalu bangun pada subuh hari untuk berolahraga dan belajar bahasa baru. Asta itu selalu terbiasa mendapat tidur yang minim. Dan sekalipun tidur, ia tidak pernah tidur dalam tenang. Selalu siaga dengan segala kemungkinan terburuk yang akan terjadi. 

"Dapat libur, Asta?"

Asta menoleh ke arah Pratama yang memasuki dapur. Matanya melihat jam di tangannya. Baru jam 05.30 pagi ternyata. Dan itu memang jam ideal untuk Pratama bangun dari tidurnya. 

"Nggak. Ini mau berangkat lagi."

"Ke mana?"

"Bali."

Pratama mengangguk mengerti. Di Bali memang sedang acara besar yang melibatkan banyak institusi pemerintahan. Wajar jika Asta dipanggil untuk bekerja di sana. 

"Nggak capek?"

"Kemarin sudah istirahat."

"Kemarin kan main sama Clara dari pagi sampe malem."

"Iya, itu termasuk istirahat."

Pratama terkekeh. "Hati-hati di jalan."

"Iya, Pak. Asta berangkat dulu."

.
.
.

Hedia kini berada di Bali untuk menjadi caregiver dan berlibur. Sanjaya yang mengirim Hedia ke Bali setelah melihat anaknya tidak memiliki kontrol terhadap emosinya sendiri. 

Dan untuk pertama kalinya setelah sepuluh bulan, Hedia bisa tidur selama delapan jam. Benar-benar sebuah hadiah yang besar. Tentu saja Jenita juga ikut dalam liburan ke Bali. Gadis itu ingin menjadi pengasuh di panti milik Yayasan Harapan Utama. 

"Let's go, kita pergi ke panti. Lu yang bawa, ya. Pulangnya baru gua," ujar Hedia yang kemudian menyerahkan kunci mobil kepada Jenita.

"Siap, tuan putri."

"Eh, lu bawa aja deh mobilnya. Gua mau ke RSHU dulu, liat anak panti yang dirawat."

"Semerdeka lu aja."

Steal The Show   ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang