Irene segera berdiri dari duduknya begitu melihat Hedia yang datang memasuki ruang kerja dengan tangisan deras dan lebam di lehernya.
"Ia putus dari Marga, Ma. Ia yang salah."
Irene segera memeluk Hedia dengan erat. Ia membiarkan Hedia menangis kencang di dalam dekapannya
"Ia jahat ke Marga, Ma. Ia jahat. Ia gak paham tentang Marga. Padahal Marga paham Ia banget."
Hedia terus mengeluarkan keluh kesahnya, ia menangis sejadi-jadinya kepada Irene. Tidak ada lagi tempat nyaman untuk Hedia berkeluh kesah selain orangtuanya. Asta sudah pergi. Dan Hedia menyesali hal tersebut.
"Ia sayang Marga, Ma. Tapi Ia bego, Ia bodoh. Ia nyesel, Ma."
Irene menatap ke arah pintu yang terbuka. Sanjaya datang di waktu yang kurang tepat.
"Sayang, ... ," Sanjaya menghentikan ucapannya. "Ia?" panggilnya kepada sang anak.
Irene hanya menggelengkan kepalanya. Sanjaya meletakan segala bawaan di tangan dan ikut memeluk dua kesayangannya.
"Ia kehilangan Marga."
.
.
.Sudah enam bulan berlalu, Hedia kini fokus dengan dirinya sendiri. Tidak ada niatan sama sekali mencari pria baru. Selalu menolak ajakan Jenita ke bar juga. Hedia benar-benar menjauhi alkohol dan pria yang mendekatinya. Di hati gadis itu, masih bersarang seorang Asta Sanghika Marga.
Hedia melepaskan kacamata dan memijit pangkal hidungnya. Matanya kemudian melihat ke arah jam di pojok kanan bawah layar komputernya yang menunjukan pukul 22.15 malam. Waktu sudah memasuki waktu istirahat, tetapi Hedia masih betah di kantor.
Jika sudah lewat jam delapan malam dan Hedia belum selesai dengan pekerjaan, Asta pasti akan membawa Hedia pulang. Namun kali ini tidak ada Asta. Hedia bisa berbuat semaunya.
Selama enam bulan ini, Hedia mengambil banyak kasus pro bono. Biasanya, kasus seperti itu lebih sulit untuk ditangani. Hedia ingin memiliki kesibukan lebih dari sebelumnya. Ia memerlukan kesibukan hingga tidak memiliki jeda untuk memikirkan Asta. Namun apa daya, kenangan Asta terlalu kuat. Terkadang Hedia kesulitan mengendalikan diri untuk tidak menangis ketika mengingat kenangan bersama Asta.
Setelah memastikan semua pekerjaannya rapi untuk dilanjutkan besok, Hedia berjalan dengan tenang ke luar dari kantor dan memasuki mobilnya. Ia hendak pulang ke apartemen dan beristirahat. Hedia kini lebih sering beristirahat di apartemen daripada di rumah. Padahal selama memiliki apartemen, tempat itu hanya ditempati sebanyak 6 kali dalam setahun saking sukanya Hedia tinggal bersama orangtuanya. Namun kali ini, Hedia lebih menyukai apartemen daripada rumah orangtuanya. Mungkin karena setiap sudut apartemen ada kenangan bersama Asta. Entahlah.
Perjalanan sepuluh menit itu berjalan dengan tenang dan lancar. Hedia sampai di apartemennya dengan selamat. Tidak butuh waktu lama, Hedia langsung membersihkan diri dan mengganti pakaian dengan sebuah sweater yang belum dicuci selama enam karena hanya digunakan untuk tidur.
Alasan pakaian tersebut belum dicuci yaitu, masih ada bau Asta di sana. Masih ada pakaian Asta yang dibiarkan di ruang pakaian. Namun sweater yang digunakan saat ini yang masih menempel bau Asta. Hedia bisa tidur lebih nyenyak berkat pakaian Asta.
Terdengar gila, tetapi begitu kenyataannya. Hedia sudah terlalu terbiasa dengan Asta. Fakta lainnya adalah, Hedia masih mencintai Asta. Irene, Jenita, Sanjaya, dan Nina pasti mengetahui itu dengan jelas. Akibat patah hati itu, Hedia banyak berubah. Dan yang paling mengetahui perubahan Hedia itu adalah Irene, Jenita, Sanjaya, dan Nina.
"Aku selalu minta ke Tuhan untuk selalu lindungi kamu dalam misi apapun. Clara sayang banget sama kamu, dan aku gak yakin dia bisa ngatasin kehilangan kamu sama kaya aku atau nggak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Steal The Show ✓
Ficção GeralHedia pernah ada obrolan seperti ini dengan Marga; "Mas, kalau kita hidup di universe lainnya, kita bakal saling jatuh cinta, gak?" Marga tersenyum lembut dan mengangguk. "Aku tau rasanya jatuh cinta ke kamu, jadi aku mau jatuh cinta lagi ke kamu. G...