6 7 6 7

7.5K 632 87
                                    

"Mikul duwur, medhem Jero."
ꦩꦱ꧀ꦤꦠꦭꦤ꧀ꦏꦸꦠꦺꦴꦠꦸꦧꦤ꧀

Takdir pada dasarnya tetaplah sama rata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Takdir pada dasarnya tetaplah sama rata. Semua manusia bumi pasti diberi cobaan di dalam kehidupannya. Guna mengingat Sang Pencipta, juga untuk selalu bersyukur dan lepas dari sifat angkara murka.

Menjadi peran besar dalam sebuah rumah di usia yang masih bisa dibilang cukup belia, memang tidaklah mudah. Pundak ringkih nan mungil milik Lestari harus dipaksa tetap tegap, menganggap semua masalah yang menerpa hidupnya sebagai badai kecil tiada arti yang harus terus dijalani dan dilalui dengan tabah.

Setelah sholat subuh, Haesa kembali ke Abirama. Cowok itu kembali duduk disamping Lestari. Menemani dan mendengarkan dengan baik semua celotehan gadis skena tersebut.

"Nggak usah malu, manusia bumi emang nggak selamanya kuat. Curhat sama ngeluh bukan berarti nggak bersyukur. Pundak setiap manusia kan' kuatnya memang berbeda," ucap Haesa, setiap kali mendengar Lestari menyalahkan dirinya sendiri karena lemah.

Lestari mengangguk. Dengan netra yang menatap lurus ke arah hamparan pantai di depannya, gadis itu kembali berucap, "Kondisi Ayah semakin memburuk belakangan ini, Pak. Bahkan, sekarang Ayah udah nggak kenal aku," lirih gadis itu, menceritakan bagaimana kondisi Ayahnya saat ini.

Haesa dan Pak Samsul memang cukup dekat. Saat Lestari sibuk merantau, Haesa lah yang selalu menemani Pak Samsul dikala suka dan duka. Seperti mencari kambing Pak Samsul yang tiba-tiba hilang, memasang genteng, memasak rebung, mencuri jambu, dan masih banyak lagi hal random yang Haesa lakukan bersama Pak Samsul selama dia tinggal di Tuban.

"Pak Samsul manusia kuat dan selalu tabah, Mbak. Percaya sama Allah, pasti Pak Samsul bakal sembuh," sahut Haesa, memberi semangat pada Lestari.

Sebenarnya, kesehatan jiwa Pak Samsul memang sudah terganggu sedari dulu. Hanya saja, kondisinya dulu tidak separah sekarang. Dulu, Pak Samsul hanya melakukan hal-hal random saja. Tapi sekarang, Pak Samsul bertindak lebih, bahkan sulit untuk mengontrol dirinya sendiri sampai berani menyakiti orang lain.

"Selama ini, aku hidup cuma berdua sama Ayah, Pak. Gak ono sing tak nduweni liyane Ayah," lirih gadis itu lagi, dengan nada bicara bergetar.

Setelah mendengar semua cerita Haesa tentang kedekatan cowok itu dengan Ayahnya. Lestari menjadi yakin untuk menceritakan kondisi Ayahnya pada cowok itu. Gadis itu percaya, bahwa Haesa adalah pendengar yang baik untuk saat ini.

Semua anak pasti butuh figur orangtua dalam hidupnya. Jika Ibu sudah tiada, setidaknya Ayahlah yang akan selalu dijadikan petunjuk kemana kaki kecilnya akan melangkah. Figur Ayah sangat berpengaruh dalam alur kehidupan seorang anak, terlebih lagi anak perempuan.

Mas Nata lan Kuto Tuban Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang