14 | Jazira

8 2 0
                                    

“THE ARTERY THIRTY?!” Brilliant memimpin jargon. “STREAMING STILL AS PACIFIC, SOARING TO THE TOP!!” seru semua orang dalam lingkaran super besar seraya menjulurkan tangannya, massive high five style, Radense menyebutnya. 

plok plok plok. 
“Wuuu!!” 

Semua bergembira. 

“Well, setelah ini, silakan berpencar mengerjakan tugasnya masing-masing. Selalu komunikasikan apa yang terjadi di forum, paling minimal group whattsapp. INGAT. KOMUNIKASI!” wanti-wanti Brilliant dan tentu selalu diamini semua orang. 

“Oke jadi Mars sutradara. Gue pemeran utama. Haris bendahara, Calla ketua divisi pameran. How about Rea?” ucap Kai di ujung aula menyebutkan peran konsil satu-satu ke dua lawan bicaranya, Mars dan Haris. Diingat kembali, bahwa konsil adalah ‘jembatan’ kelompok-kelompok besar dengan kepanitiaan atau lebih tepatnya dengan Brilliant. Secara jahat, Brilliant menyebutnya alat mencari pendukung

“Rea? Dia bintang utama, bukan begitu?” balas Haris, diangguki yang lain.

Anyway, where is she?” kata Kai. Mereka saling pandang lalu mengedarkan pandangan. Yang tertangkap mata justru Brilliant yang datang menghampiri. 

“Kai, Rea kemana?”

“Lah?”

.


14 | Jazira


.

Rea selalu benci bau penjara. Namun hanya benci, bukan takut. Ia melangkah yakin masuk ke dalam mengikuti penjaga sipir. Meninggalkan ajudan selebritas baru itu di luar. Bukan untuk apa, hanya mencegah rumor beterbangan di media. Penjaga sipir itu dalam hati bertanya-tanya siapakah anak berseragam putih abu-abu itu. Aroma parfumnya menyebar menarik perhatian siapa pun.

Tibalah mereka di ruang kunjungan. Rea menunggu sebentar hingga para petugas membawakan tahanan yang dijaga ketat. 

“Waktu Anda 1 jam.”

Keheningan pun dimulai. Dengan mata berair, Rea memandang tahanan itu dengan ekspresi sedih, jengkel, jijik, iba sekaligus. Sementara pandangan si tahanan tak pernah berubah. Ia menyayangi putrinya, sedalam samudera. Meski begitu, Rea tahu tatapan sayang itu hanya berapa persen, sisanya adalah ambisi dan keserakahan. 

Mundu wa'tun thowilin ya abnati,” sapa si narapidana. (Lama tidak bertemu, putriku.)

“Auliya datang bukan untuk membebaskan Abah,” jawab Rea cepat.

“Iya saya tahu,” kata Abah.

“Abah sehat?

“Tidak. Abah rindu umamu. Abah rindu kamu, Abah rindu kehangatan kita.”

“Uma sudah bahagia dengan suaminya dan Uma tidak pernah bahagia selama bersama Abah. Abah lupa, Abah menikah dengannya karena rakus jabatan. Auliya juga bahagia dengan kehidupan sekarang.” Rea memanggil dirinya dengan nama depannya, Auliya. Seluruh keluarganya yang agamis juga memanggil demikian. Namun ia membuat nama panggung Jazzrea dari nama tengah, Jazira. Lalu meminta orang-orang memanggilnya Rea

“Kamu sendiri, ya, Nak? Apa kamu tidak apa-apa?”

Never better, Abah. Bukankah Abah seharusnya memikirkan diri sendiri? Abah tidak punya siapa-siapa. Selain Auliya, adakah yang datang menjenguk Abah?”

Abah tertunduk. 

“Om Basuki menyampaikan salam,” lanjut Rea. “Minggu lalu Auliya ke sana, di kantor kementerian, mengusut blacklist pameran seni D'Atery D'Jakarta Pasific.”

D'Artery ProjectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang