18 | Sabung Malam Minggu

4 2 0
                                    

“Aman! Babe dah berangkat!”

.

ADALAH biasa bagi penghuni padepokan silat Sultan Haji untuk colong-colongan mengadakan ‘sabung malam minggu’ tiap Babe pergi mengosongkan jabatan lensa pengawas. Sejak menikah kembali tiga bulan lalu, kesibukan Babe jadi terbagi juga untuk keluarga barunya. Senyum di wajah keriput itu mengembang kian lebar kian hari. Walau kadang Babe datang dengan air mata, “Maafin gue, ye, gue jadi kurang merhatiin kalian pade.”

Sante aja, kali, Be. Kita juga seneng kalau Babe seneng.” Respon menyenangkan anak-anak padepokan menendang jauh-jauh pikiran buruk Babe. Mana kepikiran die kalau lampu padepokan mati jam 8 malem-malem minggu begini artinye ada sabung di dalem? Anak-anak Padepokan emang bulus akalnye. 

Ini malam minggu, 12 November di lain tempat.

Berada di kompleks kedinasan adalah suatu keuntungan besar, sebab ketika malam tiba, sekeras apa pun sorak sorai pesilat-pesilat remaja tersebut, hanya atmosfer dan satu dua satpam yang menangkap suaranya. 

“WOHOOOO!!”

“SERANG! BALESS!”

“SUBAN!! SUBAN!! SUBAN!!”

Bugh. Brak. Brakk. Si ‘Suban’ membanting tiga kali tanpa jeda lawannya sampai terlempar keluar arena dengan jerit kesakitan yang terdengar memuaskan. “Gue menang lagi!” Ia membanggakan diri hingga terdengar sangat memuakkan. 

“Maju lagi sini! Siapa berani nantangin gue? Ini hari hoki gue.”

“Gue!”
“Gue jug!”

“Gimana, nih, Ban? Berani kagak lo ditantangin 2 langsung?” Pengiring acara memancing atensi Si Suban dengan logat Betawi mirip Babe. “Kalau kagak, mundur aja-”

“Berani gue. Maju aja sini! Sepuluh juga gue hadepin kali.”

Brukk. Brakk!
Bug! Bug! Bug!

Tiga pesilat itu saling melempar pukulan dan tendangan. Maju tak terbatas, serang tanpa jarak, patahkan gerakan, balas berlipat kali, tiada jeda, terus serang, jatuhkan, banting, balas, berdiri, tendang, pukul, banting. Pola serangan mereka jauh lebih bervariasi lagi tentunya, pun sorak-sorai penonton jadi lebih beragam, tidak sekadar “Wuu” “Yaah” atau “Serang”. 

Dibanding olimpiade di manapun itu, sabung ilegal seperti ini jauh mereka nikmati. Tidak berbatas waktu dan peraturan, tidak ada wasit, dan sistemnya ‘terus serang sampai menyerah’. Pegangan mereka adalah kepercayaan bahwa selama pemain masih tahu batasan masing-masing, tubuh mereka akan baik-baik saja. Toh, selama ini tidak pernah ada masalah. Mereka adalah para pesilat bermoral, walau tindakan malam ini sebelas-dua belas dengan tawuran yang ditentang pihak mana-mana.  

Bugh! Brakk!

Suban berhasil membanting dua lawannya hingga mereka bercumbu dengan lantai. Pekikan ngilu pun menguar lagi di udara beriringan dengan gelak tawa kebanggaan Suban dan seruan penonton yang tampaknya tak berempati sama sekali dengan para pesilat malang.

“ADA LAGI YANG MAU NANTANGIN GUE? AYO SEPUH-SEPUHNYA PADEPOKAN MANA NI?”

Salah satu penonton mundur dari barisan, berlari kecil ke ruang tamu dengan wajah sumringah

 Setibanya di tempat pelarian pesilat ‘malas’ beserta asap rokok, ia langsung merebut cerutu salah seorang seraya berkata, “Dicariin noh sama jagoan baru kita, puh-sepuh.”

“Woi, sopan dikit bisa?” 

Asap terbang menuju langit-langit ruangan sejenak kemudian hingga jelas terlihat figur Haris Dhirata di sana, menahan kesal di tengah stres yang tak terbantahkan. 

D'Artery ProjectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang