16 | Darasvandra

7 2 0
                                    

“OKE! SEKALI LAGI!” 

Ini hari ketiga latihan teater di hari sabtu. Ki Raksa yang ahli itu mampu mengarahkan para pelakon dengan berbagai jenis watak mendalami teater dan naskah. Ki Raksa sebetulnya sudah mudah lupa dan sakit-sakitan, maka karena alasan inilah sutradara tetap dari siswa, Marseno. Pusing? Mars juga pusing dengan sistem keorganisasian Brilliant. 

Kali ini latihan adegan awal: perbincangan keluarga kerajaan yang menyorot perbincangan Kai sebagai Pangeran Bungsu dan sang Raja. 

Tepat latihan akan dimulai,

“Kai, someone looking for you.” Seseorang tiba-tiba masuk menginformasikan. Kai sontak menoleh ke arah pintu, pun semua orang yang sama penasarannya. 

Belum sempurna mulut Kai membuka untuk bertanya ‘siapa?’, yang dimaksud telah masuk. Seorang pria berusia lebih dari separuh abad dalam balutan jas mahal dan dasi merah. Figur berjenggot putih panjang itu sangat disegani seantero sekolah. Fotonya terpajang sangar di lobi masuk. Marseno sebagai pemimpin teater ini berucap mewakili semuanya, “Selamat datang Pak Kepala Sekolah.” Semua orang di aula sontak menundukkan badan hormat. Kecuali Kai yang terpaku mendapati figur lain di belakang Kepala Sekolahnya. Sosok yang sedikit lebih muda, berpakaian sama formalnya, dan tegas menyebutkan namanya, “Kalix.”

Kai menelan ludahnya kasar. “Pa?”

tanyanya kaget. Ia lalu melangkah mendekat. Pun ayahnya. Pria tua itu tersenyum melihat putranya. Senyuman bangga itu tak cocok dipadukan dengan matanya yang penuh emosi bermacam-macam. 

“Kapan latihanmu selesai, Putraku?” 

Belum sempat Kai, gurunya sudah mendahului, “Latihan hari ini sudah selesai,” ucapnya sembari mendekat lalu memegang bahu Kai seolah menyerahkannya dengan tampang sangat ramah. Lidah Kai tercekat. Juga semua orang di ruangan. Banyak dari mereka berseru senang di dalam hati. 

“Baguslah. Mari pulang, Nak!” ajak sang ayah sembari menepuk bahu Kai, menerima penyerahan dari Ki Raksa, lalu merangkulnya, mengajaknya meninggalkan aula. Kai meneguk ludah bingung. Kelinglungan itu tetap menggiring kakinya meninggalkan area latihan. Kepala sekolah mengikuti, juga ajudan Darasvandra di pojok belakang. 

Semua orang menatap dengan berbagai macam ekspresi. Bisik-bisik pun dimulai. 

“Oh itu bapak Kai? Cakep ya.”

“Old money weh, presiden direkturnya Daxin Technology.”

“Catokan gue merk Daxin, cakep beut.”

“Nggak pernah kelihatan di televisi, ini ya orangnya?”

“Kai sampe dijemput gitu napa dah?”

“Buat masalah lagi paling.”

“Ya kapan Kalixo nggak bikin masalah?”

Setelah mereka pergi cukup jauh, hilang di belokan lorong, Ki Raksa membalikkan badan, tampangnya kembali menyeramkan. “SEMUANYA SELAIN JEAN KALIXO KEMBALI LATIHAN!” serunya direspon kegaduhan. “YAAAHHHH!”

“Gimana sih, katanya udah?”
“Masak Kai doang?”
“Gimana latihannya tanpa Pangeran Bungsu?”

keluh orang-orang pelan, takut Ki Raksa ngamuk lagi.

Rea menggigit bibir khawatir. Ia kemudian berlari keluar, setengah mengejar. Ketika figur Kai terlihat walau dari kejauhan, cewek itu berteriak, “JANGAN LUPA BESOK KONFERENSI PERSKU!” Tak ada balasan. Semoga Kai mendengarnya.  Ia berkata demikian untuk memastikan Kai datang besok tanpa dihalangi siapapun. Rea tidak bisa membayangkan apa yang terjadi di rumah Darasvandra setelah ini. Sebab jika ia jadi orang tua dan punya anak sejenis Kai, ia juga akan murka besar. Sebagai teman yang baik, patutlah ia khawatir.

D'Artery ProjectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang