5 | The Councils

66 17 40
                                    

GERSANG menerobos sela-sela Jakarta pada Jumat pagi ini. Azan Subuh berkumandang tetapi pasarlah yang ramai. Pedagang-pedagang sayur dari Jawa berkerumun pagi ini untuk menjajakkan dagangan mereka dengan harga mahal. Beberapa mobil mulai memenuhi jalanan Jakarta. Ini sudah cukup terlambat untuk seorang siswa yang bermalam di Ancol dan harus ke sekolah di D'Jakarta Pasific di Jakarta Selatan. Namun, Rea santai-santai saja, awalnya.

Ketika mobil mulai memasuki Jakarta Selatan bersamaan dengan notifikasi sebuah grup masuk ke hpnya, Rea mendadak panik bukan kepalang.

"Pak Sopir, tolong cepat-cepat ke sekolah!!!"

_________________________

Council of Artery

You were added

Brilliant Jps add Kai Jps

_________________________

Rea tiba sepuluh menit kemudian, dua kali lebih cepat dari biasanya. Sekolah masih sepi, hanya ada beberapa muslim kembali ke asrama setelah salat di masjid di kompleks peribadatan sekolah. Walau dari jauh, Rea tahu mereka adalah sebangsa segolongan anak-anak hiperaktif yang menolak salat jamaah di musala asrama.

Sekolah ini selalu mengawali aktivitas di kawasan bisnis D'Jakarta Pasific. Sejak dulu, sekolah ini mempersuasi murid-muridnya untuk datang pagi-pagi buta. Hal tersebut bukan tanpa disediakannya fasilitas: sarapan contoh paling menonjol. Karyawan-karyawan sudah siap sejak pagi sebab mereka tinggal di mess sekolah. Meskipun begitu, datang subuh-subuh begini untuk anak non asrama, tetaplah kurang masuk akal.

Rea berpamitan lalu bergegas menuju kelasnya di lantai 3, tepat di atas ruang guru, XI-S-Marx atau lebih mudah disebut IPS 1. Lampu kelas masih mati, tetapi sudah ada yang membuka seluruh gorden sehingga cahaya lampu halaman masuk ke kelas. Tanpa cahaya itu pun Rea tahu ada orang di sini.

"Pagi juga lo, Rea," ucap orang yang datang duluan tersebut santai tanpa menoleh, fokus merangkum di ipadnya. Rea tidak membalas alih-alih langsung memencet saklar lampu. Terlihatlah Kalixo atau Kai-nama panggilan bagi mereka yang dekat-dekat saja-di bangku pojok belakang kiri dengan tampang berbeda: kaos, jas almamater, sepatu boot sekolah, dan rambut panjang diikat.

"Pagi, Kai ... ?" Ucapan yang tadinya berakhir titik berubah menjadi tanda tanya. "Kepala lo kenapa, anjir?" lanjutnya cukup panik

"Apanya?" balas Kai pura-pura tidak tahu sembari melepas ikatan rambutnya hingga perban di pelipisnya tertutup.

"Itu. Perban segede gaban. Balapan?"

"Biasa."

"Innalillahi. Gws."

"Thanks."

Rea kemudian duduk di meja Kai dan mengambil ipadnya secara paksa. "Woi maksud?" pekik Kai sambil berusaha mengambilnya kembali.

Rea langsung menunjukkan ponselnya, tepatnya pada room chat Council tadi. "Lo join? Gue nggak mimpi kan? Brilliant ngasih lo apa?"

"Nggak boleh?"

"Boleh. Banget. Tapi ini bukan Kai yang gue kenal. Lo bukan tipikal yang bakal nunduk ke orang lain."

"Orang lain saha?" Rea menelisik kebohongan di mata Kai. "Ini luka lo. Bukan balapan biasa kan? Pasti ada campur tangannya sama Brilliant, kan?"

"Adaa, emang. Tapi ya yaudah. Dunia anak-anak nakal doang, Rea."

"Terus kenapa lo join? Menurut gue ini masih nggak make sense."

D'Artery ProjectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang