9 | Untitled Script

30 6 31
                                    

"Gue dapet konfirmasi dari Badan Kebudayaan Nasional, kebetulan ketuanya sepupu bapak gue, proposal bisa nyusul, tapi overall mereka setuju," ucap Brilliant pagi ini, nimbrung anak-anak OSIS yang sedang sarapan bersama. Ada Stephanie, sekretaris OSIS, Radense, bendahara OSIS, dan tiga anggota biasa serta satu anak jurnalis yang merupakan penulis skenario teater D'Artery.

"Sumpah?"
"Alhamdullilah."
"Gilee emang ketos kita ini."
Sontak mereka melempar pujian-pujian. Brilliant pun cengengesan bangga.

"Tapi..." kata Brilli membuat mereka tidak jadi senang. "Dengan syarat, teater kita mengangkat kebudayaan Nusantara. Jadi, seolah kita juga agen promosi kebudayaan. Kalau kita dirangkul mereka, kita bisa dapat keringanan dan bahkan dipromosiin ke turis. How?" lanjutnya. Tidak semenyeramkan yang dipikirkan.

"Ubah naskah, dong?" respon Steph.
"Nggak harus, sih. Kita ganti latar dan unsur-unsurnya aja," kata Raden.

"I see. Berarti jatuhnya kayak D'Artery 29?" tanya Stephanie.
"Mereka kan lebih ke jaman kolonial. Judulnya The Lonely Sinyo. Nah kalau kita, nanti jatuhnya lebih ke fantasi berlatar belakang kebudayaan Nusantara," tanggap salah satu penulis.

"Buat romensnya, tetep ada kan?" tanya penulis lainnya.
"Ada, karena itu magnetnya."

"So, gimana? Bisa?" tanya Brilliant ke penulis dari jurnalis, ia penulis utama. Walau sebetulnya itu lebih ke kode bahwa mereka harus bisa.

Penulis skenario utama itu berpikir beberapa saat, teman-temannya pun terdiam juga, memberinya ruang dengan harap-harap cemas.
"Hmmm...Bisa," jawabnya.

"ALHAMDULILLAH!!" seru mereka bersama tanpa pandang agama masing-masing.

"Bisa tapi mati."

"Berarti gabisa?"

"Bisa. Tapi mati."

.

9.
Untitled Script

.

"Ampuni aku, permaisuriku!"
Setiap malam, setiap hari, setiap minggu, setiap bulannya, Raja mengulang perkataan yang sama di rindang damai di bawah pohon di kebun kesayangan Permaisurinya. Besar harapannya bahwa jiwa permaisuri yang sudah damai dengan dewa di atas sana akan mengampuninya dan membebaskan Bhumi Kasuran ini dari kutukan.

"Ampunilah aku, perbudak aku, tapi bebaskan keturunanku. Bebaskan tanah ini," Raja tidak pandai berpuisi, tapi ia berusaha merangkai kata-kata indah untuk membujuk mantan istrinya itu. Raja bahkan menangis, tetapi langit justru mengirimkan petir dan hujan yang mengancam istana hari-harinya. Raja senang berselingkuh, semua putranya tiada satu anak permaisuri. Permaisuri tahu dan ia berusaha berdamai dengan semua fakta keji politik itu, tetapi tidak lagi ketika Raja dengan arogan dan kesombongannya menjadikan permaisuri tumbal suatu upacara dengan iblis. Raja telah dibutakan oleh neraka.

Permaisuri, tujuh tahun lalu menurunkan kutukan, "SEMUA ANAK RAJA TIDAK AKAN MENIKAH DENGAN BAHAGIA. ISTRINYA AKAN MATI SETELAH ANAK PERTAMANYA LAHIR!"

Pada saat itu, semua putra raja adalah bujangan. Dan mereka tidaklah takut. Mereka tetap melamar para putri demi mendapat pewaris, pikirnya perempuan bisa dibuang kapan saja, mati kapan saja tidak seharusnya memengaruhi tahta. Dan setiap yang berpikir demikian akan mati mengenaskan tanpa keterangan yang jelas, tanpa seorang pun tahu pikiran buruk itu. Sehingga putra-putranya yang lain melakukan hal sama hingga tersisalah putra bungsu raja, satu-satunya harapan bagi Kerajaan Kasuran ini. Sama seperti saudara-saudaranya yang lain, ia merasa bahwa ia harus menikah. Dengan status pernikahannya, ia akan mendapat tahta. Ia buta cinta, fokusnya hanya harta dan tahta, tapi setidaknya ia tidak meremehkan perempuan. Hal demikian mungkin yang menahan kematiannya. Raja sangat mendukung langkah putranya, ia merekomendasikan putri adipati yang sebentar lagi bangkrut. Sebut saja Putri Kasmaya.

Pangeran Bungsu mengajak Putri Kasmaya untuk menjalin hubungan politik. Namun, Putri berbanding terbalik dengan ambisi pangeran. Putri ingin merasakan kebahagiaan hubungan seperti ia melihat orang tuanya, kakak-kakaknya, dan orang-orang kecil di luar gerbang bangsawan. Berbagai cara dilakukan pangeran untuk membujuk sang putri. Pangeran bersedia memberikan segalanya, ia malas untuk mencari perempuan lain yang sesuai kriteria untuk menjadi ratu kerajaan ini. Kondisi orang tuanya yang semakin bangkrut dan kehilangan rakyat sebab imigrasi besar-besaran pada akhirnya menggerakkan hati putri untuk menerima tawaran Pangeran Bungsu. Namun, tentu tidak murah. Putri meminta untuk dibangunkan sebuah istana megah di pulau Amarta yang mengapung kokoh di atas Segara Selatan. Pangeran menyanggupinya. Pembangunan pun dimulai. Di tengah pembangunan, pernikahan pun dilangsungkan. Pangeran yang sudau cukup lama membujuk Putri Kasmaya jatuh hati betulan sedangkan sang putri masih dengan pendirian yang sama.

"Putri tampak sangat cantik malam ini. Aku tidak sabar memakaikan mahkota ratu. Kapan ya ayah meninggal?" Pangeran membuka topik pertama setelah pernikahan.

"Terima kasih atas pujiannya," jawab Putri Kasmaya. Seperti biasa, singkat, padat, jelas.

"Aku senang bahwa kita bisa berbicara tidak terlaku formal seperti biasanya."

"Mungkin itu menurut Pangeran. Namun tidak bagi saya. Sehidup semati saya harus bersikap segan terhadap Yang Mulia. Bukankah demikian peraturannya?"

Satu hal yang Putri Kasmaya rahasiakan, adalah bahwa ia kerap mendapat penglihatan masa depan. Salah satu penglihatannya adalah bahwa tanah Kasuran ini akan mendapat bencana besar. Hal itulah yang membuatnya meminta istana di pulau seberang. Setidaknya, ada harapan selamat di sana.

"Yang Mulia Pangeran, apakah saya boleh tinggal di pulau lebih dulu selagi Pangeran memiliki urusan di luar negeri? Saya akan menyambut Pangeran dengan segala yang terbaik."

"Tentu, Putri. Saya tidak sabar."

Dalam perjalanan menuju pulau, bencana itu benar-benar terjadi. Tanah Kasuron dilanda gempa vulkanik lengkap dengan letusan gunungnya. Banyak yang tidak selamat, termasuk pangeran bungsu sendiri. Dalam kondisi sekarat, pangeran minta diantar ke pulau untuk memenuhi janjinya pada istrinya. Setibanya di sana, ia kaget mendapati istrinya tidak panik justru tersenyum penuh kemenangan.

"Satu hal yang tidak keluarga raja dan pangeran sendiri pahami, bahwa kutukan permaisuri hanya berlaku pada darah kalian. Pangeran tidak paham bahwa satu-satunya cara untuk mengakhiri kutukan ini adalah membunuh semua keturunan raja."

"Maksud kamu?"

"Pangeran juga tidak pernah tahu, kan, bahwa saudara-saudara Pangeran tidak tewas begitu saja, melainkan karena dibunuh rakyatnya? Saya tidak tahu pasti siapa saja oknumnya. Namun, satu yang Pangeran harus tahu dari awal, bahwa kalian seharusnya tidak takut pada kutukan permaisuri, melainkan takut pada rakyat kaliaan sendiri. Manusia bisa jadi lebih keji dari iblis manapun ketika ketakutan menguasai diri mereka."

"Putri Kasmaya. Aku tidak salah mencintai perempuan pintar seperti kamu."

"Apa gunanya Pangeran berkata demikian saat tahu bahwa nyawa Pangeran hanya sisa sedikit lagi?"

"Karena itulah aku menyampaikannya. I love you, my princess. This is not only a political marriage on my side."

Pangeran meninggal tidak lama kemudian di tangan istri yang sangat ia cintai.

Putri Kasmaya memimpin Amarta menjadi kerajaan yang makmur. Meski begitu, ia merasakan kehampaan sepanjang sisa hidupnya.

[]

D'Artery ProjectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang