Thirty Five

1K 106 15
                                    

Kavita terhenyak dari tidur ayamnya ketika merasakan tepukan samar di bahu. Kedua matanya membuka perlahan dan ia dapat menemukan wajah teduh sang ayah. "Aduh, Kavita ketiduran lagi ya, Pak." ujarnya sembari mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Bayu terkekeh pelan sebelum kemudian mendudukan dirinya di sisi sofa yang kosong.

"Semenjak pindah ke sini, kamu jadi sering ketiduran. Apa kamu masih kecapekan?" pertanyaan sang ayah dijawab dengan gelengan Kavita. "Udah hampir dua minggu, Pak. Masa iya aku masih capek?"

"Bisa saja. Bapak yang sudah tua aja tidurnya nggak sesering kamu kok. Mungkin karena pikiranmu juga." sahutan Bayu dibalas dengan ringisan Kavita. "Mungkin ya, Pak. Terus, di sini juga suasananya enak jadi bawaannya tidur mulu."

"Ah, Bapak sudah sarapan?" tanya Kavita saat matanya tanpa sengaja menangkap jam dinding di ruangan. Waktu menunjukan pukul sepuluh siang dan seharusnya sang ayah sudah menyantap sarapannya.

Bayu menganggukan kepala. "Sudah kok. Kamu kan yang belum?"

Mendengar pertanyaan sang ayah, ekspresi Kavita entah kenapa berubah malas. "Lagi nggak selera makan, Pak."

"Mungkin kamu pengen makan sesuatu?"

Kavita menghela napas sebelum terdiam karena otaknya yang tengah memikirkan jawaban atas pertanyaan yang baru saja terlontar dari mulut Bayu. "Hm...apel? Ya, kayaknya enak ya, Pak, makan apel."

Kedua alis Bayu tertaut. "Apel? Tumben betul. Selama hidup kamu, kayaknya bisa dihitung pakai jari jumlah kamu makan buah itu."

Kening Kavita kini terlihat mengerut. "Iya ya, Pak. Padahal apel itu buah yang bakal aku taruh di nomor akhir-akhir. Kenapa sekarang tiba-tiba pengen itu ya?"

Bayu terkekeh pelan sembari mengusap kepala anaknya sayang. "Ya sudah, nggak usah dipikir terlalu serius. Bapak belikan sekalian mau akrabin diri sama warga sekitar."

Kavita langsung memberikan senyum lebarnya. "Makasih, Pak."

Bayu mengangguk sebelum kemudian beranjak dan meninggalkan Kavita seorang diri di ruang tamu. Perempuan yang baru saja terbangun dari tidurnya itu pun berdiri dan berjalan ke arah jendela. Ia menatap pemandangan berupa hamparan laut di depan sana dengan berpangku dagu.

Ya, begini lebih baik. Akhirnya setelah sekian lama ia tak bisa mendapatkan sebuah kedamaian, ia kini bisa merasakannya.

Meski tetap saja ketika matanya memandang langit biru di atas sana, memorinya masih terus memutar sesosok pria yang memiliki manik berwarna sama, Kavita dapat merasakan perubahan baik di dalam hidupnya tanpa kehadiran pria itu.

Sudah hampir dua minggu terlewat setelah dirinya dan sang ayah berhasil meloloskan diri dari kekang Zane Ocean. Dan Kavita benar-benar berharap bahwa pria itu tidak akan pernah berhasil menemukannya di sini – di sebuah pulau kecil yang letaknya tak jauh dari Singapura, Pulau Bangka.

Kavita sudah bekerja sangat keras dalam menyamarkan kepergiannya dari Singapura. Ia bahkan membayar lebih demi bisa menghilangkan jejak dirinya dan sang ayah. Tentu saja, masalah identitas mereka di sini pun, Kavita tidak seceroboh itu dengan mengunakan nama asli mereka.

Zane tidak akan mencarinya bukan? Pria itu tidak mungkin merasa kehilangan karena kepergiannya kan? Tentu saja tidak karena sesosok minor seperti dirinya yang sama sekali tidak memberikan pengaruh berarti di kehidupan pria itu, tidak mungkin mempengaruhi kesempurnaan tatanan hidup sesosok Zane Ocean. Kalau pun pria itu sampai mencari keberadaannya, Kavita dapat memastikan bahwa itu dikarenakan hutang yang ia miliki.

Kavita tersenyum miris. Tidak akan ada yang berubah dalam kehidupan pria itu dan jangan lupa kan bahwa sekarang Zane sudah memiliki seorang istri yang mendampinginya. Itulah mengapa sekarang ia harus bangkit dan menata kembali hidupnya tanpa harus memperdulikan Zane Ocean yang jelas-jelas tidak akan pernah memikirkan kepergiannya.

Something UnfinishedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang