Vello memarkirkan motornya di halaman rumahnya. Setelah mengantar Azea pulang, Vello berniat untuk langsung balik ke tempat latihan basket. Sayangnya, catatan yang dibutuhkan oleh kaptennya tertinggal di rumah sehingga mengharuskannya pulang terlebih dahulu.
"Mau kemana?" Suara seorang wanita paruh baya sedikit membuat Vello terkejut. Vello menoleh ke arah ruang santai keluarga. Dia dapat melihat sosok wanita dengan usia sekitar empat puluhan-ibunya. Vello tidak menjawab, ia berlalu begitu saja meninggalkan ibunya yang sedang santai membaca sebuah majalah.
"Rakhavello! Ibu bertanya padamu!" Suara wanita itu meninggi, menghentikan langkah Vello. Vello menarik nafas, kemudian menghembuskannya perlahan. "Vello mau latihan," ujarnya berbalik menatap ibunya yang perlahan mendekat padanya.
"Latihan? Apa yang kamu maksud dengan latihan? Hari ini jadwal kamu les matematika." Ibunya melipat kedua tangannya sejajar di dada. Menatap lurus ke mata anaknya yang tidak berkedip sama sekali, bahkan takut pun tidak. Ayah Vello yang baru saja pulang kerja mendapati anak dan istrinya tengah berdiri di depan pintu masuk. Tanpa berniat bertanya sedikitpun, ayahnya berlalu begitu saja menuju kamar. Vello sekilas melirik kearah punggung ayahnya yang menjauh, sudut bibirnya tertarik sebelah, "membosankan," lirihnya.
"Apa yang membosankan? Kamu pikir ibu memasukkan kamu ke tempat les itu gratis? Ibu biayai semua kebutuhan sekolah kamu, kamu pikir itu dapat uang dari mana?!"
"Vello gak paham apa maksud ibu. Dari dulu sampai sekarang, Vello masih gak paham dengan cara berpikir ibu. Vello gak tertarik les, Vello mau latihan basket." Vello berlalu meninggalkan ibunya yang kesal setengah mati melihat tingkah laku anaknya. Suara motor Vello menjauh dari pekarangan rumah, teriakan ibunya dihiraukan tanpa rasa bersalah.
Hari semakin sore, sesampainya di tempat latihan Vello memberikan buku yang diminta oleh kaptennya. Ia mengambil alih bola basket yang di pegang oleh Devan-teman sebangkunya, kemudian mengajak mereka untuk berlatih. Hampir dua jam waktu mereka habiskan untuk berlatih tetapi, berbeda dengan biasanya. Vello sama sekali tidak berhenti, bahkan ketika kaptennya mengatakan waktunya untuk pulang.
"Vel, udah latihannya. Kita mau pulang, nih."
"Duluan aja, Dev. Aku masih mau latihan." Vello melembar bola ke ring. Berulang kali hingga nafasnya tak beraturan. Devan yang melihat itu, memutuskan untuk pulang lebih dulu. Ia tau benar, jika sudah seperti ini kemungkinan besar suasana hati temannya itu sedang tidak baik.
Jam menunjukkan pukul tujuh malam. Tempat latihan mereka yang berada di samping sekolah sudah sangat sepi. Tempat ini memang menyediakan ruang latihan untuk beberapa jenis olahraga, salah satunya adalah basket. Sekolah mereka menyewakan tempat ini untuk mereka berlatih.
"Kamu! Sudah malam ini, saya mau tutup ruangnya. Cepat pulang!" teriak seseorang dari depan pintu. Vello menghentikan latihannya, mengambil tas yang tergeletak sembarang, dan keluar dari ruang latihan setelah berterima kasih pada orang itu.
"Malas pulang," lirihnya. Motor Vello membelah jalanan malam itu, hembusan angin memberikan rasa segar pada tubuhnya. Sampai di perempatan Vello membelokkan motornya ke kiri, jalan yang bukan mengarah pada rumahnya.
"Assalamu'alaikum," ucap Vello sesampainya di depan sebuah rumah yang terbilang besar. Tiga ketukan pada pintu rumah itu akhirnya berhasil membuat si pemilik rumah keluar.
"Wa'alaikumussalam. Ha? Ngapain disini?"
"Ze, ada makan gak? Laper nih," ujar Vello dengan wajah melasnya.
"Dih, datang-datang minta makan. Kamu kira aku emakmu apa?" ujar Zea mengerut dahinya kesal. "Kamu gak pulang kerumah?" tanya Zea ketika memperhatikan keadaan pria itu.
"Ya, biasalah. Males pulang." Vello duduk di kursi yang berada di luar sejak beberapa tahun lalu. Kakinya kini mulai terasa lelah. Azea tidak ada niat sedikit pun untuk mempersilahkan Vello masuk, sebab di rumah hanya ada dia. Artnya sudah sejak sore pulang ke rumahnya. Memang di rumah ini, art mereka tidak menetap bersama mereka.
"Makan di luar aja, ya? Gak enak kalau aku suruh kamu masuk."
"Tante Rina belum pulang?"
"Kayaknya gak akan pulang lagi. Kaya bibi sih, tadi pagi pulang. Entah kenapa, aku ngerasa mama ngehindar dari aku. Orang tua kita pada kenapa sih?" Azea ikut duduk di kursi yang berada di sebelah Vello. Keduanya menatap langit-langit teras rumah Azea.
"Mereka egois, ya?" lirih Vello. Pandangannya tidak beralih sama sekali.
"Minggu depan, kita udah mulai les tambahan di sekolah, kan? Padahal disekolah sangat melelahkan," ujar Azea yang hanya di balas anggukan oleh Vello.
"Kayaknya temenku suka sama kamu," ujar Azea tiba-tiba, membuat Vello kaget dan segera bangkit dari duduknya. "A-apa sih? Makin ngawur ceritamu. Ayo makan di luar. Ke warung yang biasa aja ya." Vello berjalan menuju motornya. Azea hanya terkekeh melihat tingkah Vello yang malu-malu. Azea dan Vello adalah sepupu-an dari ibu mereka. Ibu Vello adalah adik kandung dari ibu Azea sendiri. Sedikit banyaknya, Azea juga tahu bagaimana kehidupan sepupunya itu.
"Buruan, mau makan gak? Kunci tuh pintu!" teriak Vello dari atas motornya.
"Iya, bawel," seru Azea. Mereka akhirnya pergi makan di luar berdua. Aktifitas yang sering mereka lakukan, hingga menimbulkan kesalahpahaman bagi yang tidak tahu hubungan mereka yang sebatas sepupu.
***
"Kamu serius? Masa sih dia kayak gitu?"
Pagi ini suasana kelas lebih gaduh dari biasanya. Suara-suara tak jelas membuat Azea merasa tidak nyaman. Ia bisa merasakan beberapa orang menatap sinis kearahnya. Bahkan dia juga bisa mendengar sesekali namanya disebutkan.
"Apa lagi kali ini?" batin Azea. Ia mengeluarkan earphone miliknya, dan memutar lagu favorite dari playlist kesayangannya.
"Selamat pagi sayangku," ujar Metha yang baru tiba dengan senyum yang luar biasa lebar. Hanya di balas anggukan oleh Azea. Dibelakang Metha juga terlihat anak kembar yang melambaikan tangan ke arahnya, Azea hanya menanggapi dengan senyuman kedua anak itu.
"Azea!" teriak suara yang tidak asing di telinganya. Vello mendekat ke meja Azea dan Metha , memberikan sebuah permen. Bukan merasa senang, Azea justru merasa sangat kesal.
"Ternyata gosipnya benar, ya?" tanya seorang teman sekelas mereka tiba-tiba. Vello, Metha dan Azea berbarengan menoleh ke arah wanita dengan poni dora itu.
"Maksudnya apa?" tanya Vello mendekati wanita itu. Azea memilih menaikkan volume dariagu yang dia dengar, sedangkan Metha hanya bengong karena tidak paham dengan apa yang mereka bahas.
"Kamu dan Azea pacaran, kan? Gita tadi bilang dia ngeliat kalian mesra banget di rumah makan. Pantesan kamu selalu bela dia kalau lagi ada masalah. Ternyata pacar, toh," ujar wanita itu lagi. Bukannya marah, Vello justru tertawa kencang membuat wanita itu bingung.
"Gila kamu, ya?"
"Iya benar-benar, udah gila kalian semua. Masa baru tahu kalau aku pacarannya Azea." Teman-teman satu kelas mereka sontak terkejut dengan pengakuan tiba-tiba itu. Mereka memang sering menerka-nerka, karena kedekatan Azea dan Vello sejak kelas sepuluh. Di lain sisi, Metha yang mendegar ucapan Vello ikut terkejut. Sangking terkejutnya jantungnya berdetak lebih cepat, dan ada rasa kesal yang tiba-tiba muncul.
"Emangnya kenapa kalau aku pacaran sama Zea? Kalian keberatan? Aku dan Azea emang pacaran, puas?" tanya Vello dengan menatap tajam pada wanita yang berbeda. "Gita memang benar," ujar Vello lagi, membuat Gita menoleh. Mata mereka saling bertatapan, Vello yang memasang wajah dingin dan tatapan tajam, Gita yang memasang wajah cuek, kemudian berpaling kembali ke ponselnya.
Bel berbunyi mengakhiri keributan di kelas itu. Mereka kembali pada kursi masing-masing. Azea sendiri tidak berniat menyanggah apa yang dikatakan Vello, karena sejujurnya dia sendiri sudah sangat bosan. Namun, ada hal yang dia lupakan. Hal yang dia sendiri tidak pernah bayangkan apalagi peduli tetapi, akan membuat hatinya ikut sakit.
.........
/bersambung
/jangan di tunggu🤡
KAMU SEDANG MEMBACA
HALAMAN TERAKHIR
Teen FictionSingkat saja, setiap orang memiliki masalahnya sendiri. /Sebuah proses mengasah gabut oleh orang gabut. Selamat menikmati ceritanya 🔥