Plak!
Satu tamparan keras mendarat di pipi Vello, membuat Azea terkejut. Ayahnya menatapnya dengan amarah yang terpancar dari kedua bola matanya.
"Apa yang sedang kamu lakukan? Berani sekali kamu berteriak pada orang tua seperti itu!"
Vello memegang pipinya yang memanas. Azea yang melihat tindakan kasar pamannya itu merasa takut. Tubuhnya bergetar, kakinya melangkah mundur perlahan. Ayah Vello yang baru saja pulang bekerja dibuat kaget karena kericuhan di depan pintu kamar istrinya. Ketika ia melangkah mendekat, ia kaget karena Vello berteriak pada istrinya sehingga membuatnya reflek menampar anaknya itu.
"Apa yang aku lakukan? Justru aku yang bertanya, apa yang kalian lakukan?! Bang Alken pulang telat bahkan ibu tidak mencoba untuk menghubunginya. Dia tes tambahan, les ... les ... dan les terus yang ibu ucapkan. Kalian pernah peduli gak sih dengan bang Alken?!" teriak Vello, suaranya menggelegar di dalam rumah mereka.
"Kami ini orang tua kamu, berbicaralah dengan sopan!" tegas ayahnya menatap Vello tajam. Vello menundukkan kepalanya sedikit takut, namun rasa kesalnya tak kunjung hilang. Ibunya bahkan tidak mau bersuara untuk sekedar menengahi pertengkaran anak dan ayah itu.
"Assalamu'alaikum." Suara yang sejak tadi Vello tunggu akhirnya terdengar dari pintu masuk. Vello segera berlari disusul Azea menyambut kepulangan Alken. Alken yang melihat tingkah dua adiknya itu mengerutkan dahi bingung.
"Kalian kenapa?" tanya Alken bingung ketika Vello memeluknya sangat erat. "Hei, hei. Ada apa ini? Vello kamu nangis?"
"Vello khawatir sama kamu, Bang. Gak biasanya pulang telat kayak gini. Kami udah nungguin dari tadi," jelas Azea.
"Terus kamu kenapa harus nangis, Vel? Anak cowok cengeng," ledek Alken. Azea ingin ragu-ragu ingin memberitahu kalau ayah mereka baru saja menampar Vello.
"Sudah pulang, kan? Sebaiknya kalian semua istirahat. Azea pulang di jemput, kan? Atau mau om antar?"
"Gak usah, Om. Ayah tadi bilang udah dekat."
"Ya, udah. Om mau istirahat dulu. Alken, Vello jangan main game lagi."
Alken menatap punggung ayahnya sekilas. Ada rasa kecewa sekilas yang menyebar didadanya. Diliriknya pipi Vello yang memerah, ia tahu apa yang baru saja terjadi. Jelas itu tamparan dari tangan yang katanya akan menggenggam tangan mungil mereka.
"Maaf, ya. Jadi gak bisa ngajarin kalian. Tadi abang ada sedikit masalah. Jangan bilang-bilang, ya," bisik Alken pada keduanya.
"Jadi bukan karena tes tambahan?"
"Bukan," ujar Alken tersenyum sangat lebar.
"Itu tangan abang kenapa? Ada darah," tanya Azea menunjuk pergelangan tangan Alken yang diselimuti baju kemeja lengan panjang itu. Alken terkejut karena Azea menyadarinya, " seharusnya aku balut lebih banyak. Kemeja ini warnanya cerah lagi," batin Alken.
"Owh, ini rahasia abang. Tadi sebenarnya lagi main game ringan. Abang kalah terus jadi bajunya di coret pakai krayon," jelas Alken dengan wajah yang meyakinkan. Vello dan Azea saling bertukar pandang kemudian berekspresi seolah mereka paham akan penjelasan tersebut.
Tiin! Tiin!
Azea langsung berhambur keluar saat mendengar suara klakson mobil milik papanya. Ia pamit pada Alken dan Vello setelah menitip salam untuk kedua orang tua mereka. Ditengah perjalanan, Azea berusaha menyampaikan apa yang ada di pikirannya kepada pria yang sedang fokus menyetir di sebelahnya itu. Kejadian beberapa menit yang lalu di rumah Vello benar-benar mengganggunya.
"Pa".
"Ya?"
"Ta-tadi Vello ditampar om Frans," ujar Azea. Papa Azea langsung menginjak remaja mobilnya karena terkejut. "Apa maksud kamu? Menampar Vello?"
"Iya, Pa. Bang Alken telat pulang, jadi Vello marah," jelas Azea lagi.
Mobil mereka kembali melaju membelah jalanan yang basah. Seperti hujan baru saja berhenti membanjiri bumi dengan air matanya. Azea sesekali melirik papanya, ingin melihat ekpresi pria yang terlihat cukup dingin tetapi aslinya orang yang sangat asik ketika di ajak ngobrol.
"Pa, Azea mau nanya."
"Ada apa, sayang?"
"Kalau seandainya suatu hari Azea berbuat salah, apa papa akan tampar Zea juga?" tanya Azea yang suaranya hampir hilang.
"Apa maksud kamu? Papa itu sayang sama kamu kalau kamu salah ya tetap salah. Papa akan ajarin banyak hal, asal kamu selalu cerita ke papa, ya."
"Baik, Pa. Terima kasih. Azea sayang banget sama papa."
"Papa juga sayang banget sama kamu."
Azea dan papanya saling melempar lelucon selama perjalanan pulang. Sampainya di rumah, mama Azea sudah menunggu dengan gelisah. Sorot matanya yang penuh ke khawatiran langsung hilang ketika melihat putrinya turun dari mobil suaminya.
"Maaf, Ma. Tadi bang Alken telat pulang," jelas Azea. Mana Azea tersenyum hangat pada putri semata wayangnya itu.
***
"Bang, gak mau cerita ke aku?"
Vello tengah asik berbaring di kasur milik Alken. Pemilik kasur itu sendiri sibuk berkutat dengan buku dan penanya lagi. Vello melemparkan bantal pada Alken yang terlalu fokus.
"Makanya bang, jangan terlalu fokus. Daritadi ditanyain bukannya ngejawab."
"Maaf, Vel. Abang lagi sibuk, bentar lagi ini selesai kok," ujar Alken tanpa menoleh.
Vello akhirnya menyerah dengan abangnya itu. Ia menarik selimut milik Alken untuk menutupi tubuhnya. "Malam ini aku tidur di sini," ujar Vello.
Alken menoleh sekilas, tangannya terhenti untuk menulis. Ada keraguan yang timbul untuk melanjutkan.
"Bagaimana ini, dia akan sedih banget nanti," batin Alken.
Alken menarik nafas panjang, kemudian mengeluarkannya secara perlahan. Matanya kini tertuju pada lengannya yang penuh dengan garis-garis yang baru dibuat. Masih terlalu jelas, bahkan bekas darahnya pun masih terliat jelas. Beberapa sudah mulai samar.
"Bisa-bisanya Azea ngeliat."
"Aku kira kalau pulang telat dikit, mereka akan panik nyariin aku." Alken menyeringai mengingat fakta kedua orang tuanya yang sangat abai dengan anak-anaknya.
"Mereka orang tua yang sangat egois," lirih Alken lagi kemudian melanjutkan aktifitas menulisnya.
Dari balik jendela terdengar suara hujan turun. Beberapa bulir air mata Alken juga terjatuh membasahi kertas miliknya. Ia menangis tanpa suara, takut membuat Vello terbangun dan khawatir padanya. Tanpa ia sadari, sejak tadi Vello mendengar setiap ucapannya walau hanya dengan suara yang kecil. Kesunyian membuat semua terdengar jelas.
"Apa yang dia pikirkan? Kenapa bang Alken nangis?" batin Vello yang memejamkan kedua matanya berpura-pura tidur.
Alken dan Vello malam ini sama-sama sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Dua anak laki-laki yang terbilang cukup lemah dan sensitif. Tidak mampu memberontak pada orang tuanya yang cukup ketat mengatur kebebasan mereka. Tetapi, jika dibilang demi kebaikan yang terlihat hanyalah demi obsesi dari ibu mereka semata. Jika bukan karena ayah mereka yang tidak mampu membela dan menjaga harga diri istrinya, mungkin ibu mereka tidak akan bertindak separah ini.
Aku ingin kehidupan keluarga kita normal seperti keluarga Azea. Aku iri padanya.
..... Bersambung
/Bagaimana dengan menunggu yang masih kau lakukan hingga hari ini? Adakah temu? Atau justru kabar orang baru dengan orang yang kau tunggu? 🤡
KAMU SEDANG MEMBACA
HALAMAN TERAKHIR
Teen FictionSingkat saja, setiap orang memiliki masalahnya sendiri. /Sebuah proses mengasah gabut oleh orang gabut. Selamat menikmati ceritanya 🔥