Sudah tiga puluh menit berlalu sejak kegiatan kelas tambahan itu dimulai. Kira dan Cira - si anak kembar, tidak juga menampakkan batang hidungnya. Azea berulang kali melihat ke arah jam yang melekat di tangannya.
"Mereka kemana, sih? Bisa-bisa masih awal kita semua udah kena hukum," grutu Vello.
"Ya tinggal nikmati aja hukumannya," seru Metha sembari tetap fokus menyalin catatan yang berada di papan tulis.
"Pak Iwan kayaknya lagi sakit perut, mungkin beliau akan sedikit lebih lama untuk balik ke kelas," ujar Devan yang berada di kelompok berbeda dengan Vello.
"Azea langsung mengeluarkan ponselnya, mencari kontak salah satu dari si kembar.
"Kamu ngapain, Zea? Nanti kalau pak Iwan lihat, bisa salah paham beliau," ujar Vello berusaha mengambil alih ponsel Zea.
"Aku harus menghubungi Cira. Aku tidak ingin dihukum."
Metha melirik ke arah Azea yang terus berusaha menyambungkan panggilan telponnya ke Cira. Raut wajah khawatir sedikit tergambar di wajah gadis itu, membuat Metha merasa kesal.
"Kamu kenapa?" tanya Vello membuat Metha kaget karena wajah Vello yang tiba-tiba muncul di depannya.
"Kamu ngapain, sih?! Bikin kaget aja! Kalau aku tadi jatuh gimana?" kesal Metha.
"Ya-ya maaf, udah sakit woy." Vello meringis kesakitan karena Metha memukul lengannya dengan sangat tega. Kelompok belajar yang lain menoleh ke meja mereka karena merasa terganggu dengan suasana rusuh yang tercipta. Menyadari hal itu, Vello langsung kembali ke kursinya sedangkan Metha terus-terusan mencibir pria itu karena masih kesal.
"Belum bisa dihubungi juga?" tanya Vello dan hanya mendapatkan gelengan kepala dari Azea.
"Jametha kamu juga coba hubungi dong, memangnya kamu mau dihukum?"
Metha menghela nafas kesal dan mengeluarkan ponselnya dari saku. Ia menunjukkan layar ponselnya kepada temab-temannya itu, "tinggal lima persen," ujar Metha kembali mematikan ponselnya.
"Apa sih yang kamu bisa?" tanya Vello heran.
"Nonjok kamu aku bisa, sini biar ku tonjok sampai jadi jamet yang sempurna." Metha tersenyum lebar menampakkan deretan giginya yang dimana salah satunya menempel cabe hijau, mungkin dari sambal petai yang ia makan tadi pagi.
Vello sontak tertawa keras melihat itu, sedangkan Azea berusaha menahan tawanya dengan mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Lampu hijau, lampu hijau," ujar Vello sembari menunjuk wajah Metha tanpa berniat menghentikan tawanya. Metha yang merasa ada yang aneh meminjam kaca kecil milik Gita yang duduk tepat di belakangnya.
"Makanya kalau habis makan itu sikat gigi," ujar Gita yang juga menahan tawanya. Metha sangat kaget ketika melihat salah satu giginya ada yang menghuni, ia langsung mengambil sisa cabai hijau itu dan dengan usil menempelkannya pada Vello. Anak-anak di kelas sontak tertawa melihat Vello yang terkejut dengan perbuatan tidak sopan Metha. Gadis itu tidak peduli dan justru menjulurkan lidahnya mengejek. Azea yang melihat perdebatan dua orang temannya itu hanya menggelengkan kepala.
"Kami datang Azea!" Suara serempak terdengar dari pintu masuk. Azea yang melihat kedatangan si kembar langsung menyuruh mereka untuk duduk dan menyalin catatan yang sudah sejak satu jam tadi. Tidak lama pak Iwan juga memasuki kelas, beliau sempat melirik ke arah meja kelompok Azea, sepertinya beliau tahu namun memaklumi.
Syukurlah kali ini selamat.
***
"Jadi kalian mendaftarkan diri di kompetisi bernyanyi?" Cira dan Kiara mengangguk bersamaan. Senyum sumringah yang terpancar dari keduanya membuat Metha, Vello dan Azea tidak habis pikir.
Saat ini mereka sedang berada di sebuah kafe yang berada di dekat sekolah. Vello mengajak teman-temannya untuk makan sebelum pulang. Setelah berkutat seharian dengan buku pelajaran, pasti tubuh mereka butuh asupan begitu pikir Vello.
"Kita udah mau ujian, loh. Kalian yakin?" tanya Metha membuat keduanya terdiam.
"Sebenarnya kami juga gak yakin, hanya saja jika kesempatan ini dilewatkan, kami takut tidak punya kesempatan lain."
"Bunda juga tidak akan memberikan kesempatan itu pada kami," sambung Kiara.
"Bunda Nela gak tau? Yang benar aja kalian ini," ujar Metha dengan suara yang cukup tinggi. Kiara dan Cira hanya tertunduk. Tangan mereka sibuk mengaduk-aduk makanan yang disediakan untuk mereka.
"Udah, Tha. Kita makan dulu ya. Kalian juga pasti lapar," ujar Azea berusaha menengahi.
"Siapa kamu ngatur-ngatur saya?" Metha mengalihkan pandangannya saat ketiga temannya menatap ke arahnya. "Iya-iya, ini aku makan," ujar Metha akhirnya membuat yang lain terkekeh.
"Jametha ... Jametha, lucu banget sih," celetuk Vello membuat Metha kaget. Wajahnya seketika terasa panas. Ia berusaha mengendalikan dirinya agar tidak ketahuan baper.
***
"Akhirnya kenyang juga."
"Cira, kamu harus perbaiki pita rambutmu. Nanti Bunda marah." Kiara memperbaiki pita yang berada di rambut kembarannya itu.
"Azea, maaf dan terima kasih, ya. Kami selalu saja merepotkan kamu disaat-saat genting seperti ini. Terima kasih sudah mendukung keputusan kami," ujar Kiara dan disambung dengan anggukan oleh Cira. Mereka berdua akhirnya memilih pamit lebih dulu. Sedangkan Vello kini sedang pusing sendiri, antara mengantar Azea atau Metha terlebih dahulu.
"Kamu tahu mereka ikut kompetisi itu?" tanya Metha meminta jawaban dari Azea.
"Iya."
"Kamu juga tahu mereka tidak meminta izin pada Bunda Nela?" tanya Metha lagi.
"Ya, begitulah," ujar Azea datar.
"Kenapa kamu egois banget, sih? Kamu tahu gak seberapa berpengaruhnya hal kayak gini untuk mereka berdua?"
"Aku hanya mendukung keputusan mereka, bukan meminta mereka melakukannya. Lagian, itu urusan mereka dan tidak ada hubungannya denganku."
"Azea!" teriak Metha kesal.
"Kamu itu terlalu egois, dingin dan tidak peduli dengan perasaan orang lain. Kamu selalu mengabaikan orang-orang di sekitarmu. Kamu bahkan tidak bertanya padaku, kenapa aku cuek padamu? Karena memang sejak awal kamu tidak peduli! Kamu pasti puas tidak ada lagi orang yang mengganggumu." Metha menghela nafasnya. Vello yang menyaksikan keduanya hanya memilih diam dan memperhatikan. Membiarkan keduanya untuk menyelesaikan hal-hal yang perlu diselesaikan.
Azea sendiri orang yang tidak bisa percaya, apalagi jujur pada orang lain akan perasaannya. Kecewa yang ia alami karena hubungan yang dia sebut pertemanan membuatnya memilih untuk tidak berteman tetapi, sayangnya ia dihadirkan sosok Metha yang sangat menyukai Azea sejak pertama kali masuk ke kelas sepuluh. Sejak saat itu hingga saat ini pun, Metha masih sangat ingin terus berteman dengan Azea.
"Maaf. Jika tidak suka denganku sejak awal seharusnya kamu menjauh seperti yang lain. Aku sudah lupa caranya berteman. Karena bagiku semua orang sama busuknya." Azea meninggalkan Metha yang menangis karena perkataannya setelah meminta Vello mengantarkan gadis itu pulang, sedangkan ia lebih memilih untuk menunggu bisa lewat.
Aku tidak yakin bisa menjadi teman sebaik kamu. Karena hingga saat ini pun aku sadar begitu buruknya perlakuanku padamu sebagai teman. Aku tidak ingin memulai hubungan apapun dengan siapapun lagi. Terutama pertemanan yang menurutku hanya sebuah ikatan yang dapat melukai pemiliknya.
Azea menyeka air matanya yang mengalir tanpa permisi. Ia paham bahwa setiap perkataannya tadi pasti sangat melukai perasaan Metha tetapi, begitulah cara dia mengusir orang-orang baik dari kehidupannya.
Azea, tetaplah sendiri agar tidak ada yang terluka.
..... Bersambung
Btw, terima kasih untuk yang sudah baca dan bantu mengingatkan bagian-bagian yang memiliki ketypo-an🙏
/Jangan menunggu, karena menunggu tidak membuatmu kaya🤡

KAMU SEDANG MEMBACA
HALAMAN TERAKHIR
Ficção AdolescenteSingkat saja, setiap orang memiliki masalahnya sendiri. /Sebuah proses mengasah gabut oleh orang gabut. Selamat menikmati ceritanya 🔥