Part 8

9 3 10
                                    

Kelas 12 sedang disibukkan dengan ulangan harian. Sudah berjalan tiga hari sejak jadwal ulangan yang diadakan serentak sebagai bentuk latihan ujian yang akan datang. Vello juga sudah masuk kembali dengan kondisi yang cukup berantakan. Dia terlihat lebih kurus dari beberapa waktu tidak terlihat. Azea berusaha mengajak Vello berbicara namun pria itu menolak. Seusai sekolah dia langsung pulang, bahkan kapten basketnya sampai bingung karena dia tidak pernah lagi ikut latihan. Biasanya dia yang paling semangat.

Azea tidak bisa hanya fokus pada keadaan sepupunya itu. Disisi lain dia juga harus memperhatikan nilainya yang perlahan menurun. Belum lagi mamanya yang hanya pulang seminggu sekali. Bahkan ketika dia berusaha masuk ke butik mamanya, ternyata ia dicegah oleh asisten mamanya. Azea mulai merasa sedikit tertekan dengan perasaan diabaikan ditambah ulangan yang berturut-turut.

"Zea? Kamu baik-baik aja?" Metha merasa takut melihat wajah Azea yang sedikit pucat.

"Vello! Ayo makan ke kantin. Kamu dari tadi belajar mulu," ajak Metha pada pria itu. Vello melirik sekilas kemudian melanjutkan aktifitasnya tanpa berniat ikut dengan Metha ke kantin.

"Kalian pada kenapa sih? Ayo semangat dong. Kalian juga kembar, kenapa pada loyo kayak gitu? Gita kamu kok diam juga. Kenapa gak bikin rusuh aja sih?" protes Metha mulai frustasi melihat keadaan teman-temannya belakangan ini.

"Jangan berisik, aku lagi belajar," cetus Vello dingin dengan memperlihatkan tatapan tajamnya. Metha yang melihat mata milik Vello merasa sedikit takut. Ini pertama kalinya pria yang ia kenal selama hampir tiga tahun ini menunjukkan tatapan sedingin itu.

"Mending kamu diam deh, Tha. Aku juga lagi belajar," sambung Gita tetap fokus pada buku catatannya.

"Metha kami sedang galau nunggu pengumuman, jadi jangan ditanya-tanya dulu, ya." Metha menatap si kembar yang sejak tadi hanya memperhatikan ponsel mereka. "Sebaiknya nilai ulangan kalian gak turun, nanti bunda Nela marah," nasihat Metha.

Metha akhirnya memutuskan untuk pergi ke kantin sendiri. Aktifitas anak-anak lainnya masih sama seperti biasanya. Adik kelasnya juga aktif bermain basket di lapangan.

"Yang bener kalau ngoper bola!" teriak Metha pada salah seorang siswa yang ia kenal.

"Diam kak jametha! Hus Hus, sana!" balas pria itu dengan teriakan tak kalah kuat. Beberapa siswa yang menyaksikan itu hanya bisa tertawa melihat kelakuan senior mereka itu.

"Sepi banget gak ada mereka. Azea juga gak mau ceritain masalahnya. Vello kampret itu malah natapnya gitu banget, kan aku jadi takut. Si kembar juga, kalau ketahuan bunda pasti bakal jadi masalah besar." Metha ngedumel sendiri.

"Sudahlah, perutku lebih penting untuk segera diisi."  Metha berlari kecil menuju kantin.

***

"Aku pulang."

"Vello hari ini jadwal kamu les bahasa Ing-."

"Vello tau."

"Vello berangkat."

Sudah beberapa hari ini Vello hanya pulang sebentar untuk mengganti pakaian dan mengambil keperluan untuk lesnya. Ibunya terlihat sangat bahagia karena Vello menurut padanya. Lalu bagaimana dengan Vello sendiri? Ia justru merasa tekanan yah sangat berat sampai-sampai membuatnya sesak.

Vello menggelengkan kepalanya beberapa kali untuk mengusir rasa sakit dikepalanya. Ia bahkan sudah meminum beebrapa jenis obat dengan fungsi yang sama tetapi, tidak ada yang berubah.

Drrt! Drrt!

Panggilan telpon masuk dari Azea berulang kali. Vello menekan icon merah untuk menolak panggilan sepupunya itu.

"Berisik," lirihnya.

"Vello! Can you focus?"

" Sorry, I can."

Vello menekan tombol power lama untuk mematikan ponselnya. Sebelum itu ia sempat melihat notifikasi pesan dari Azea yang memintanya untuk datang ke rumah. Tanpa ada niat merespon pesan itu, Vello langsung memilih mematikan ponsel dan memasukkannya ke tas miliknya.

Vello berusaha fokus mendengarkan penjelasan guru bahasa inggrisnya yang terbilang muda. Namun sayangnya kepala Vello terasa berdengung membuyarkan fokusnya. Beberapa kali ia menyentuh dahinya untuk sekedar memijat pelan agar rasa pusing berkurang.

Andai ini menjadi waktu terakhirku, akan terasa lebih baik.

***

Azea sedang berkutat dengan ponselnya. Nomor yang sejak tadi berusaha ia hubungi justru operator yang menjawab.

"Vello mematikan ponselnya? Bener-bener, deh."

"Neng, Zea. Makan malamnya udah siap tapi ...." Kalimat ARTnya menggantung. Azea menghela nafas pasrah, ia tahu betul apa yang yang ingin disampaikan Bi Ina kepadanya.

"Gak papa, Bi. Nanti makanannya dibagikan ke tetangga aja. Jangan lupa di bawa juga untuk bibi, ya. Sayang banget kalau gak ada yang makan. Lagian, mama juga pasti udah makan di sana." Azea tersenyum kecut menangani kecewanya itu. Saat mendapat kabar dari Bi Ina bahwa mamanya akan pulang dan makan bersama malam ini, Azea langsung meminta agar Bi Ina memasakkan makanan kesukaan mamanya. Seharusnya malam ini adalah malam terbaik untuknya setelah sekian lama. Namun sayangnya itu hanyalah harapan yang ia tanam sendiri agar dapat berubah manis.

Azea mengeluarkan buku diary berwarna biru miliknya. Setiap kali ada rasa senang, kecewa atau bahkan bingung yang ia rasakan, semua akan tertuang pada lembaran-lembaran kertas itu. Karena hanya dengan cara inilah Azea bisa menyampaikan isi hatinya.

08 Juli

Hai diary, lama tidak bertemu.
Hari ini lagi-lagi aku dilanda bingung. Kau tahu Vello? Sepupuku satu itu bertingkah sangat aneh. Pulang sekolah langsung pulang, bahkan diajak bicara ia menghindar. Aku harap dia baik-baik saja tetapi, pikiranku selalu teringat pada kak Al. Aku takut membayangkan Vello sepertinya.

Lalu ... Kau tahu diary, ibu berkata akan pulang malam ini. Kemudian dia membatalkannya dengan alasan basi. Ya, seperti biasa ada hal mendadak yang harus dia urus. Padahal kemarin aku diusir karena singgah di butiknya. Sepertinya sikap tidak jujur ku atas apa yang aku rasakan menurun dari dia. Benar-benar anak dan ibu, kan?

Diary ...
Aku benar-benar lelah, sangat lelah sampai aku bingung harus bersikap bagaimana. Rasanya kehadiran orang-orang di sekitarku mengurus seluruh energiku. Tetapi aku juga tidak ingin mereka menjauh, aku takut jika sendiri. Aku juga tidak suka jika mereka memaksaku. Apa yang harus aku lakukan? Terlalu banyak hal yang rusak sampai aku bingung harus memperbaiki yang mana. Jika aku membuang semuanya, mungkin akan jauh lebih mudah, bukan? Bisakah aku membuang yang rusak? Tetapi semuanya memiliki kenangan yang sangat berharga.

Air mata Azea  perlahan jatuh membasahi kertas diarynya. Dia tidak sanggup menuliskan semua isi hatinya yang terlampau banyak. Azea menepuk dadanya pelan untuk mengurangi sesak yang ia rasakan. Terlalu banyak memori kenangan yang terbuka hingga membuat tangisnya tak bersuara. Tentang keluarganya, pertemanannya dan dirinya sendiri.

"Pa. Azea kangen papa. Papa kapan pulang?" lirihnya dengan suara bergetar nan serak. "Azea ... Azea takut sendiri. Kenapa papa jahat banget sama aku?! KENAPA, PA?!"

"Zea sayang papa ... papa jahat." Gadis itu menangis sepuasnya. Diluar perlahan derai hujan turun ke bumi. Menemani gadis yang kesepian itu menangis. Bi Ina yang mendengar suara teriakan  Azea tadi ikut merasa sedih. Bi Ina sendiri sudah bekerja belasan tahun di keluarga Azea. Melihat keadaan keluarga yang sangat baik padanya itu, benar-benar membuatnya ikut terpukul.

Bibi tidak bisa membantu apapun Zea. Bibi harap kamu dan Bu Sarah bisa berdamai dengan keadaan kalian.

..... Bersambung

/Jangan menunggu kehadiran semu. Kecewamu itu obatnya hanya mati rasa tanpa berminat pada orang baru🤡

HALAMAN TERAKHIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang