Part 6

5 2 0
                                    

"Azea!" teriak Metha saat melihat kedatangan Azea. Azea sedikit kaget dengan suara yang beberapa hari ini tidak terdengar. Dahinya mengerut heran tetapi, semua perasaan itu hilang seketika melihat Vello yang muncul dari belakang Metha dan nyengir lebar.

"Kamu ngomong apa ke dia?" tanya Azea dingin. Metha memeluk Azea erat tanpa meminta izin terlebih dahulu, sedangkan Vello tidak memberikan jawaban apapun atas pertanyaan Azea.

"Aku ke kelas duluan, ya. Kayaknya Devan tadi ada perlu padaku." Vello kabur meninggalkan keduanya. Azea sedikit merasa lega karena Metha tidak benar-benar membencinya padahal sudah berkata jahat kemarin.

"Maaf, ya. Ternyata aku tidak benar-benar mengenalmu," ujar Metha sedih tanpa melepaskan pelukannya. Azea mendorong gadis itu agar melonggarkan pelukannya, karena ia mulai merasa sesak.

"A-aku. Emm ...." Azea menjeda perkataannya cukup lama. Ada rasa ragu yang timbul di hatinya.

"Kenapa?"

"Gak papa, ayo ke kelas."

"Baik," ujar Metha antusias.

Hari ini cuaca cukup cerah. Kegiatan kelas tambahan berjalan dengan tenang dan sedikit lebih santai dari hari sebelumnya. Bu Ratna yang terkenal cukup garang ternyata orang yang humoris juga. Sesekali dia membuat lelucon untuk menghibur anak didiknya yang ia tau sekali merasa cukup tertekan. Seharian hanya berkutat dengan pelajar, sudah pasti beberapa diantara mereka yang sulit paham akan semakin merasa sesak dengan buku pelajaran.

"Baiklah, kita akhiri pelajaran hari ini. Ibu senang melihat kalian semua hadir. Besok juga jangan ada yang bolos, ya."

"Siap, Bu!" Mereka menjawab serempak membuat senyum manis guru mereka itu muncul.

"Wah, jarang banget liat bu guru senyum."

"Ternyata beliau bisa senyum juga, aku kira hanya bisa mengerutkan dahi ketika emosi."

"Andai di kelas beliau selalu tersenyum."

Suara bisik-bisik yang sayup-sayup terdengar membuat gurunya itu sedikit merasa malu. Segera ia memasang wajah datar lagi membuat para siswanya terkekeh pelan, karena sikap salah tingkah guru mereka itu.

"Azea, boleh aku bertanya satu hal?" Suara Metha memecahkan keheningan diantara keduanya. Sudah setengah jam yang lalu mereka pulang dan sekarang mereka berdua sedang duduk di Halte bus. Azea menunggu bus, sedangkan Metha menunggu jemputan. Vello sendiri diusir oleh Metha, Cira dan Kiara sedang berlatih digedung latihan yang berada disebelah sekolah mereka.

"Apa kamu punya masalah?" lanjut Metha. Belum ada tanggapan dari Azea atas pertanyaannya yang terbilang sederhana. Metha menatap lurus kedepan, memperhatikan anak kecil yang sedang bercanda dengan ibunya di depan kafe tempat mereka nongkrong petang hari lalu.

"Azea," panggil Metha lagi membuyarkan lamunan gadis itu.

"Ha? Apa?"

"Hmm. Aku tanya, apa kamu punya masalah? Sejujurnya aku selalu ingin menanyakan hal ini. Sejak kelas sepuluh aku tahu kamu begitu dekat dengan Gita. Saat kelas sebelas entah mengapa ku menjadi anak yang pendiam, dingin, suka mengabaikan orang lain, bahkan kamu dan Gita tidak lagi bermain bersama. Kadang aku berpikir, apa karena kehadiranku makanya hubungan kalian jadi rusak. Apa yang ku pikirkan ini benar?" tanya Metha. Ia menatap kedua bola mata coklat milik Azea. Sepertinya Azea terkejut dengan pertanyaannya, begitu pikir Metha.

"Itu semua gak benar. Masalahku dan Gita adalah masalah pribadi. Aku tidak ingin siapapun ikut campur didalamnya. Sedangkan aku sendiri juga bingung kenapa aku seperti ini. Maaf, ya. Jadi terlalu sering mengabaikan kebaikan kalian. Sebaiknya jangan terlalu mempedulikanku, karena aku belum tentu menganggap kebaikanmu sebagai hal yang baik," ujar Azea tepat saat itu bus yang menuju rumahnya berhenti. Azea segera beranjak dari duduknya. Ia tersenyum tipis sebelum meninggalkan Metha yang sama sekali tidak dapat memproses apa yang di katakan Azea kepadanya.

"Aku duluan, kamu hati-hati, ya. Takut ada cowok nakal yang menculikmu," ujar Azea sembari melambaikan tangannya pelan.

"Padahal aku kepo banget dengan masalah dia. Apa begitu sulit menceritakan masalahnya? Apa aku tanya ke Gita saja, ya? Tidak nanti Azea marah karena katanya ini urusan pribadi. Tapi aku sangat ingin membantunya agar cerita seperti dua tahun lalu." Metha berbicara sendiri sembari berulang kali menghela nafas. Dari seberang jalan ayah Metha memanggilnya. Melihat pria tua yang melambaikan tangan kearahnya membuatnya segera bergegas menuju beliau. "Akhirnya jemputan datang juga," batin Metha.

***

Prang!

Pecahan kaca itu berhamburan di kamar yang terlihat sangat polos. Dinding bercat putih, ranjang yang tidak terlalu besar, dan satu meja belajar dengan tumpukan buku yang begitu banyak.

"Bisa gak sih kamu nurut sama ibu?!" teriak wanita itu penuh amarah. Air mata wanita itu sudah hampir kering sejak ia memasuki kamar Vello. Vello yang tengah belajar dibuat terkejut saat ibunya tiba-tiba masuk dan melempar semua barang yang ada di meja belajarnya. Bahkan kaca yang terletak di pojok kamar yang digunakan untuk ia bercermin sebelum berangkat sekolah kini sudah terbagi menjadi beberapa kepingan.

"Kali ini siapa lagi?" tanya Vello datar.

Ibu Vello menggertakkan giginya dan melayangkan satu tamparan keras pada wajahnya. Dengan nafas yang menggebu-gebu, air mata ibunya kembali deras. Ia menggenggam tangan yang ia gunakan untuk menampar wajah anaknya tadi.

"Ma-maaf, ibu gak bermaksud," ujar ibunya yang tampak kebingungan lalu berlari keluar dari kamar anaknya itu.

Vello menatap miris pada ibunya yang tidak mampu mengendalikan diri setiap kali suasana hatinya buruk. Mata Vello dan ayahnya yang tengah berdiri di pintu kamarnya saling bertatap. Mungkin sudah hampir satu tahun lamanya mereka tidak saling mengobrol. Vello sendiri menyimpan rasa benci pada pria yang terkenal bijaksana, baik dan penyayang keluarga di luar sana. Ia memutar bola matanya malas bahkan sekedar melihat wajah yang kerap ia panggil ayah.

"Lebih baik anda tidur di luar malam ini, jangan membuat suasana rumah semakin kacau," ujar Vello sembari mengutip satu persatu pecahan kaca yang  tadi. "Tidak usah berpura-pura khawatir," lanjutnya ketika langkah kaki pria itu mengarah padanya.

"Akh!" Vello meringis kesakitan saat pecahan kaca itu tidak sengaja menggores tangannya. "Masalah baru," lirihnya. Vello mengambil bajunya lalu membalut tangannya untuk menghentikan darahnya keluar.

"Vello, ayah ingin berbicara sebentar denganmu." Ayahnya tidak mengindahkan perkataan anak laki-lakinya itu untuk pergi dari kamarnya.

"Saya sibuk."

"Vello! Aku ini masih ayah kamu!" ucap pria itu tegas.

"Saya tahu anda ayah saya tapi, akhir-akhir ini anda membuang status itu, bukan?" Vello memutar badannya agar saling berhadapan dengan ayahnya. "Saya ingin istirahat, jika anda ingin menjadi seorang ayah berikan saya ruang dengan cara keluar dari kamar saya," ujar Vello. Tanpa peduli lagi bagaimana ekpresi yang ditunjukkan oleh ayahnya. Ia dengan santai berbaring di kasurnya. Menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya.

"Ayah permisi."

...... Bersambung

/Jangan menunggu, menunggu hanya akan membuatmu menjadi batu 🗿

HALAMAN TERAKHIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang