Kehidupan seseorang yang terlihat baik-baik saja, selalu tertawa saat berkumpul dengan orang yang mereka sayangi, tidak pernah terlihat mengeluh dan selalu menjadi penyemangat kita. Belum tentu karena dia menikmati kehidupannya. Dia berbohong, bermain di balik topeng demi memenuhi ekspektasi orang-orang yang dia sayangi. Emosi yang selalu tertumpuk pada akhirnya akan meluap jika tidak di keluarkan. Tekanan yang mencabik pikiran karena takut gagal. Tuntutan kesempurnaan yang menjadi bayang-bayang. Pada akhirnya hanya tumbuh menjadi belati yang menarik jiwa sang pemiliknya.
"ALKEN!"
"BANG ALKEN! BANGUN, BANG!"
Hari itu merupakan hari yang tidak pernah terbayangkan oleh siapapun. Vello yang berteriak histeris melihat Alken terkapar di lantai yang dingin. Azea yang terduduk lemas melihat tubuh abang sepupunya itu yang sudah pucat. Dingin. Tubuhnya sangat dingin ketika Vello menyentuhnya. Air mata mereka mengalir deras, menyuarakan kesedihan yang begitu dalam.
"BANG, INI MIMPIKAN? ABANG GAK MUNGKIN NINGGALIN VELLO, KAN? ABANG YANG JANJI BUAT MAIN BASKET BARENG VELLO LAGI!" Suara Vello bergema di kamar Alken hari itu.
"Vel, bang Alken udah gak ada, kan? Bang Alken ninggalin kita?" Gadis itu menangis sesunggukan. Mendekati Vello dan memeluk sepupunya itu.
Orang tua Vello yang baru saja tiba segera menghampiri kamar anak pertama mereka itu. Ibu Vello terpaku melihat keadaan anaknya yang tak lagi bernyawa.
"INI SEMUA KARNA IBU!" teriak Vello menunjukkan ibunya dengan amarah yang meluap-luap.
"Vel, tenang. Jangan kayak gini," bujuk Azea.
"Padahal tadi pagi bang Alken pamit ke sekolah. Kenapa pulang main basket, dia ... kenapa dia seperti ini," lirih Vello menahan sesak di dadanya.
"Kenapa dia memilih jalan yang salah? Kenapa dia harus mengakhiri hidupnya? Bang Alken bukan orang yang seperti ini. Dia selalu tersenyum, dia ...." Vello tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Peristiwa beberapa hari belakangan ini terputar kembali di kepalanya.
Kemarin Alken terlihat sangat aneh. Dia tidak belajar, justru mengajak Vello bermain basket dan game. Seharian mengajaknya mengobrol, padahal biasanya hanya belajar. Vello tidak merasa itu hal yang aneh, justru ia merasa senang. Alken sangat jarang punya waktu untuk bermain dengannya. Mereka hanya curi-curi kesempatan jika tidak ada ibu mereka yang mengawasi Alken belajar.
Kabar duka tentang kepergian salah satu siswa terbaik di sekolah Vello, yang tidak lain adalah abang kandungnya membuat semua orang terkejut. Alken yang terbilang anak yang cukup aneh tetapi terkenal sangat baik dan mau membantu teman-temannya yang kesulitan dalam pelajaran. Alken juga anak yang aktif dan menjadi kebanggaan guru-guru mereka. Hari itu, hari pertama ujian nasional diwarnai dengan kesedihan yang mendalam bagi siswa kelas dua belas. Beberapa teman dekat Alken berusaha menahan air mata mereka agar tidak jatuh membasahi kertas ujian milik mereka.
Vello menatap gundukan tanah yang masih basah. Bunga yang ditaburkan sangat segar. Saudara-saudara mereka sudah pulang sejak tadi, begitu juga orang tua Vello dan Azea. Vello memeluk batu nisan yang terukir nama abangnya - Alken Dafawijaya. Ia tidak menyangka akan kehilangan satu-satunya orang yang paling ia sayang di dunia ini. Orang yang selalu mendukung setiap usahanya dan mau mengajarkannya mengenal banyak hal. Bagaimana bisa orang sebaik dan seceria dia mengakhiri hidupnya sendiri?
"Abang pasti capek banget, kan?" lirih Vello.
"Abang selama ini cuma pura-pura, ya?" Azea ikut bersuara. Air mata gadis itu tidak dapat berhenti. Suara tangisnya tak terdengar.
"Nanti aku main basket sama siapa?"
"Nanti belajarnya sama siapa?
"Kalau aku gak bisa tidur, nanti aku harus minta temani siapa?"
"Zea, aku sekarang sendirian. Aku lebih tidak butuh orang tuaku daripada bang Alken."
Zea hanya diam mendengar penuturan Vello. Wajah pria itu sangat pucat dan matanya sembab. Anak manja yang selalu mengandalkan Alken kini kehilangan tumpuannya untuk berdiri.
"Vello, jangan kayak gitu. Nanti bang Alken jadi sedih. Kita pulang, ya. Yang lain pasti udah nunggu juga," bujuk Azea akhirnya. Hari sudah mulai gelap saat mereka meninggalkan pemakaman umum itu.
Vello memasuki kamar Alken. Di tatapan yang lantai yang beberapa waktu lalu menjadi tempat Alken terkapar tak bernyawa. Ia menyentuh meja belajar Alken yang sangat rapi. Hanya ada tumpukan buku. Matanya tak sengaja melihat buku yang sejak minggu lalu rajin di bawa oleh Alken. Ia terkejut saat membuka halaman pertama buku itu. Buku bersampul coklat itu awalnya ia pikir buku les milik Alken tetapi, setelah melihat isinya ternyata buku itu adalah diary milik Alken.
Vello membalik tiap lembar halaman dari buku yang terbilang cukup besar untuk disebut sebagai diary pada umumnya. Mungkin untuk mengelabui ibu mereka agar tidak curiga dengan buku itu. Tanpa terasa Vello sampai pada isi terakhir dari buku itu. Air matanya mengalir kembali setelah membaca kalimat yang dituliskan Alken untuk dirinya.
"Maafin Vello, bang. Vello belum bisa jadi adik yang baik buat abang," lirih Vello dengan tangis tanpa suara.
Vello, mungkin ketika kamu membaca buku ini dengan tidak sengaja aku sudah tidak bisa bersamamu. Aku tidak bisa lagi menjadi abangmu yang selalu support kamu. Maafin abang ya. Abang udan jadi cowok pengecut. Abang ninggalin kamu sendirian. Abang gak tau harus gimana lagi caranya untuk bertahan. Abang udah berusaha mati-matian untuk baik-baik saja ternyata abang cuma membohongi diri sendiri.
Vello adikku. Mungkin abang gak bisa menemani kamu dan Azea belajar kayak biasanya. Tapi abang harap kamu gak mengecewakan ibu ya. Jangan terlalu marah pada ibu dan ayah. Jangan membenci mereka karena mereka orang tua kita. Kamu jaga mereka ya. Jaga Azea, jangan sampai di dekati oleh cowok-cowok brengsek. Jaga diri kamu jangan sampai terjun ke dunia anak-anak yang nakal. Abang pasti akan kecewa berat sama kamu. Abang pantau kamu dari bintang.
Vello, kamu harus semangat terus ya. Abang mau kamu jadi anak yang membanggakan ibu dan ayah. Maaf ya Vello, abang pasti sangat mengecewakan. Tapi abang udah gak mampu bertahan terlalu lama. Abang benar-benar tertekan. Takut. Bingung. Maafin abang ya. Abang bukan abang yang membanggakan kamu. Abang pamit ya. Jangan pernah mengikuti jejak abang yang terburuk ini. Kamu harus hidup lebih lama. Abang sayang banget sama kamu.
Vello mengusap sisa air matanya. Membuka laci meja belajar milik Alken dan memasukkan buku diary milik abangnya itu. Sebelum sempat memasukkan buku itu, Vello terkejut dengan banyaknya obat yang sangat asing di katanya. Terdapat juga pisau kecil yang bahkan masih terdapat noda. Vello menatap isi laci itu, dadanya sesak memikirkan kehidupan yang dijalani Alken sehari-hari. "Seandainya aku lebih peka, mungkin aku bisa membantumu hidup lebih lama, bang."
........ Bersambung
Beberapa orang baru merasa kehilangan ketika mereka menyadari kepergian orang yang mereka sayang tidak bisa dibawa kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
HALAMAN TERAKHIR
Teen FictionSingkat saja, setiap orang memiliki masalahnya sendiri. /Sebuah proses mengasah gabut oleh orang gabut. Selamat menikmati ceritanya 🔥