Part 5

9 2 0
                                    

Matahari sudah tenggelam sejak satu jam yang lalu. Vello mengantarkan Metha pulang seperti yang diminta oleh Azea. Entah mengapa hati Vello juga terasa sakit melihat Metha yang masih sesegukan.

"Tha, Azea gak benar-benar benci kamu kok," ujar Vello memecahkan keheningan diantara keduanya. Angin yang mulai terasa semakin dingin menyapu wajah Metha pelan dari balik helm.

"Aku tahu."

"Terus kenapa kamu mengabaikan dia?"

"Ini urusan sesama cewek, perihal hati gak ada hubungannya sama cowok yang nggak peka," ujar Metha membuat Vello kebingungan.

Setelah percakapan singkat itu keduanya kembali diam. Sibuk dengan pikirannya masing-masing. Tidak terasa mereka sudah sampai di depan rumah Metha.

"Ya, ampun sayang. Ibu baru aja mau minta ayah kamu buat jemput."

"Maaf ya, Bu. Handphone Metha mati, jadi gak bisa ngasih kabar. Oh ya, Metha dianterin Vello."

Vello menyalim ibu Metha dengan sopan. Vello beberapa kali pernah mampir ke rumah Metha bersama Azea, semasa mereka kelas sepuluh.

"Udah lama banget kalian gak main. Azea juga gak pernah kamu bawa main ke rumah lagi, Tha. Bagaimana kabar dia?" tanya Ibu Metha yang hanya di jawab gelengan kepala olehnya. Sebelum sampai ke rumah, Metha sudah lebih dulu membersihkan sisa air matanya agar ibunya tidak khawatir. Dari dulu hingga sekarang gadis itu tidak pernah menceritakan masalahnya pada orang tuanya. Bagi Metha itu bukan masalah yang besar, jadi orang tuanya tidak perlu mengkhawatirkan hal itu.

"Vello gak makan dulu?"

"Maaf, gak usah, Tan. Kebetulan Metha lama sampai rumah juga karena tadi saya ajak makan dulu bareng yang lain. Kita tadi makan di kafe dekat sekolah. Maaf ya, Tan." Ibu Metha memaklumi hal itu.

Vello pamit pulang setelah berpamitan dengan Metha dan ibunya. Jam masih menunjukkan pukul setengah delapan malam, keinginan dia untuk pulang benar-benar tidak ada. Dikeluarkannya ponsel dari saku celananya. Dengan perasaan ragu is mencoba menyalahkan ponsel yang sejak pagi sengaja ia matikan. Benar saja, notifikasi puluhan panggilan dari ibunya dan beberapa pesan dari teman-temannya langsung terpampang ketika ia menyalakan sambungan internet.

Drrt! Drrr!

"Pulang sekarang?!" Suara sambungan telepon segera mati setelah ibunya mengatakan dua kata itu. Vello menghela nafas panjang, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Rambutnya sesekali ia acak prustasi. Tidak ingin membuang waktu terlalu lama, Vello segera melajukan motornya dengan kecepatan cukup tinggi agar segera sampai di rumah. Ia tidak ingin membuat drama keluarga ini menjadi lebih heboh dari biasanya.

***

Cira dan Kiara tengah asik melatih suara mereka. Dengan sisir yang dijadikan ala-ala microphone. Tanpa mereka sadari sejak tadi bunda mereka tengah memperhatikan mereka.

"Suara kamu aneh," ujar Kiara tertawa terbahak-bahak meledek Cira yang menyanyikan lagu balonku dengan vokal o. Challenge yang biasa mereka lakukan sebelum menyanyikan sebuah lagu. Cira ikut tertawa mendengar suaranya sendiri dari rekaman ponselnya.

"Sudah nyanyinya?" Sontak keduanya terkejut mendengar suara bunda mereka.

"Bu-bunda."

Bunda Nela, ibu dari keduanya berjalan mendekati mereka. Masih mengenakan pakaian yang lusuh bahkan belum sempat membersihkan diri sepulang dari berjualan.

"Apa yang sedang kalian lakukan?"

"Be-berlatih, Bun," jawab Cira gugup. Kiara bersembunyi di balik Cira yang merupakan kakak kembarnya.

"Nyanyi! Sudah jam sembilan dan kalian sedang bernyanyi! Bunda larang kalian untuk datang membantu jualan tetapi, apa yang kalian lakukan? Bukannya belajar justru menyanyikan lagu gak jelas!" teriak Bunda Nela membuat kedua putrinya ketakutan.

"Bunda sudah pernah melarang kalian bukan? Kenapa masih kalian langgar? Kenapa kalian gak belajar untuk ujian kalian? Astagfirullah." Bunda Nela mengelus dadanya  berusaha menenangkan dirinya karena kasihan melihat kedua putrinya yang tertunduk ketakutan.

"Ma-maaf, Bun."

"Sudahlah. Bunda ingin membersihkan diri dulu. Kalian belajar dan jangan ada yang nyanyi-nyanyi gak jelas lagi. Bunda tidak pernah setuju kalian menjadi penyanyi, biduan atau apalah itu. Kalian harus menjadi dokter seperti kakek kalian. Paham?!"

"Pa-paham, Bun," ujar keduanya terbata. Bunda Nela meninggalkan kedua putrinya, menutup pintu kamar mereka dengan sedikit kasar. Cira dan Kiara menangis sembari memeluk satu sama lain.

"Bagaimana ini, Ra. Kalau bunda tahu kita ikut kompetisi itu pasti bunda akan sangat marah."

"Aku juga gak tau, Ci. Tapi kita harus tetap ikuti kompetisinya dan meraih juara agar bunda paham kalau kita berbakat jadi penyanyi. Aku gak mau jadi dokter. Ini semua karena kakek yang selalu menyalahkan bunda." Cira mengangguk setuju dengan ucapan Kiara. Mereka menyusun beberapa alat yang digunakan untuk berlatih tadi. Kembali pada meja belajar mereka dan memfokuskan diri untuk menyelesaikan beberapa soal sebagai bahan latihan dari kelas tambahan tadi.

Andai bunda paham apa yang kami inginkan. Mengapa banyak orang dewasa yang suka memaksakan anak mereka untuk mengemban hal yang dulu gagal mereka dapatkan? Tidak ada kebebasan untuk seorang anak yang dipaksa berhasil menjadi seperti yang orang tuanya inginkan. Kami tertekan karena keterbatasan melakukan hal yang kami inginkan.

Cira menoleh arah kembarannya yang fokus belajar. Bagi Cira kebersamaan dengan Kiara adalah yang terbaik. Karena ada Kiara makanya dia juga mampu bertahan dan melanggar beberapa batasan yang bundanya tetapkan.

"Kiara, ayo kita berjuang bersama." Kiara menoleh pada Cira dan tersenyum lebar. "Ayo," balasnya dengan mengepal salah satu tangannya memberikan semangat.

***
"Aku kangen sama mama. Mama kapan ada waktu buat aku?"

"Azea, mama sedang sibuk ngurusin kerjaan. Butik kita sedang bermasalah jadi jangan minta hal-hal aneh, ya."

"Ma ...."

"Sudah, ya. Mama pergi dulu. Kamu belajar yang rajin sebentar lagi ujian, kan?" Mama Azea mengecup dahi putrinya itu dengan penuh kasih sayang. "Jangan lupa ganti kartu kamu, terus hubungi mama nomor barunya, ya. Kartu kok bisa sampai tenggang begitu," ucap Mama Azea lagi.

Azea hanya bisa diam melihat mobil mamanya menjauh. Bagaimana mungkin Azea percaya bahwa beliau sedang sangat sibuk sejak saat itu. Azea menutuki dirinya sendiri karena merasa sangat menyesal dan bersalah pada mamanya.

"Seharusnya aku gak bawa dia ke rumah. Semua jadi hancur karena dia," lirih Azea.

Dengan langkah lemah ia berjalan masuk ke rumah. Hari minggu ini terasa sangat membosankan bagi Azea. Hari yang biasanya dia habiskan dengan berlibur bersama kedua orang tuanya, kini harus ia habiskan dengan kebosanan seorang diri. Tadi pagi Vello sempat mengajaknya keluar bersama Metha tetapi, ia menolak dengan beralasan mamanya pulang. Namun sekarang mamanya justru pergi tanpa berniat berdiam diri sehari saja di rumah.

"Seharusnya aku tadi ikut mereka," sesal Azea setelah melihat postingan Vello yang sedang berfoto bersama Metha, Devan dan Ali di taman bermain.

............ Bersambung.

𝐓𝐞𝐫𝐢𝐦𝐚 𝐤𝐚𝐬𝐢𝐡 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐤𝐫𝐢𝐬𝐚𝐫 𝐚𝐭𝐚𝐬 𝐤𝐞 𝐭𝐲𝐩𝐨-𝐚𝐧 𝐧𝐲𝐚🙏

/tidak usah menunggu, karena menunggu hanya membuatmu melewatkan banyak hal seru🤡

HALAMAN TERAKHIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang