"Vel, bagi jawaban nomor tiga," bisik Devan sembari menyenggol kaki Vello dengan jarinya. Vello hanya melirik sekilas kemudian mengabaikan teman sebangkunya itu.
"Haelah, bro. Pelit banget sih kamu, tolong dong," bisik Devan lagi berusaha merayu Vello.
"Ogah."
"Buset, dah. Pelit banget jadi orang," ujar Devan. Karena suasana kelas yang hening membuat suaranya terdengar oleh Pak Iwan.
"Siapa yang pelit, Van?" tanya Pak Iwan. Devan hanya memasang cengiran atas pertanyaan guru matematikanya itu.
"Mau nyontek dia, Pak," ujar Gita mengadu.
"Masih zaman nyontek?" celetuk Metha.
Pak Iwan mendekati meja Vello dan Devan yang terletak di baris kedua dari belakang. Beliau menarik kertas milik Devan dan memberikan sepatah dua patah kalimat nasihat untuk keduanya.
Melihat pak Iwan yang sibuk dibelakang, Metha dengan cepat mengeluarkan beberapa lembar catatan kecil yang didalamnya terdapat rumus matematika.
"Tha, nanti kamu ketahuan," ujar Azea mencoba memasukkan catatan itu ke laci mereka. Namun Metha bersikukuh untuk melihat rumus dari beberapa soal yang tidak ia ingat.
Devan yang melihat gerak gerik mencurigakan dari Metha segera melaporkan pada pak Iwan, membuat Metha segera menyembunyikan kertasnya di dalam sepatu.
"Apa yang kamu lakukan Metha?"
"Ngambil pensil, Pak."
"Jangan menyontek! Jika ketahuan oleh saya kalian menyontek, saya akan buat nilai kalian nol," ancam pak Iwan membuat mereka yang mendengarnya hanya dapat menelan air liur mereka.
"Saya gak nyontek, Pak. Cuma tadi agak nanya aja sama Vello," jelas Devan.
"Sama saja kamu meminta contekan."
"Gak, Pak. Yang nyontek itu sih Metha. Dia nyelipin kertas contekan rumus. Percaya deh sama saya," ujar Devan frustasi karena sejak tadi gurunya itu tidak mau mendengarkan pembelaannya.
Vello sama sekali tidak peduli dengan kedua orang yang menciptakan kebisingan disekitarnya. Ia tetap fokus menjawab setiap soal hingga tersisa dua nomor lagi. Sesekali diliriknya jam yang melekat di pergelangan tangannya itu. Pak Iwan yang menangkap aktifitas tersebut segera menegur Vello, mencurigai anak didiknya itu.
"Apa yang kamu lirik Vello?"
"Jam pulang," ujar Vello singkat.
"Kenapa kamu terburu-buru pulang? Akhir-akhir ini kamu juga tidak masuk di kelas tambahan. Mentang-mentang les di luar dengan biaya mahal kamu jadi meremehkan kelas tambahan dari para gurumu, ya?" Ekspresi Vello hampir tidak terlihat karena poninya yang bertumbuh semakin panjang.
"Kaku hidup dari harta orang tua yang luar bisa, tidak heran kamu bersikap seperti ini," lanjut beliau lagi. Vello sama sekali tidak memberikan tanggapan atas apapun yang disampaikan gurunya itu. Ia menyelesaikan ulangannya, dan langsung menyetornya ke meja guru.
"Sesuai yang bapak katakan diawal, saya sudah selesai dan saya izin pulang duluan."
"Saya belum selesai berbicara dengan kamu," ujar beliau menahan langkah Vello.
"Temui saya di kantor."
"Maaf, Pak. Itu di luar dari perjanjian kita. Saya akan temui anda besok. Hari ini saya mau pulang."
Azea yang melihat Vello berjalan keluar dengan terburu-buru segera menyusulnya. Ia mengumpulkan hasil ulangannya pada meja guru, kemudian pamit pulang. Metha dan beberapa temannya yang melihat Azea sudah kelar sontak mengumpat.
"Tega banget kamu, Ze. Padahal aku kira kamu belum selesai makanya tenang banget. Aku pikir kamu lagi mikir, ternyata hanya aku yang mikir kamu lagi mikir!" teriak Metha pada Azea yang sudah menjauh dari kelas.
"Metha! Kamu kira ini kebun binatang sampai teriak-teriak begiru?!"
"Maaf, Pak. Itu adalah teriakan isi hati dari seorang sahabat yang kecewa ditinggalkan oleh temannya tanpa ada contekan yang tertinggal."
"Kamu ini ...." Pak Iwan memijak tengkuknya yang terasa pegal karena anak-anak didiknya ini. "Lanjutkan jawab ulangan kalian. Jika belum selesai, bahkan ketika bel sudah berbunyi kalian belum boleh pulang," ujar beliau mengingatkan.
Metha hanya memasang wajah cemberut, dengan bibir manyun dan kedua pipi yang menggembung. Diliriknya kursi Azea, sesekali tangannya juga merogoh laci temannya itu. "Kali aja ada jawaban yang sebagai dia sembunyikan," batin Metha. Sayangnya Metha lupa bahwa Azea paling anti memberikan contekan pada siapapun.
***
Vello sudah siap menyalakan motornya tepat saat Azea berhasil menyusulnya di parkiran. Aze menahan tangan Vello membuat pria itu kaget dengan kemunculan Azea.
"Kenapa? Mau ngehindar kemana lagi?" tanya Azea dengan tatapan penuh amarah.
"Aku udah coba hubungi kamu berulang kali tapi kamu gak respon. Kamu ini kenapa, sih? Kan kamu yang janji kita harus saling cerita ketika ada masala."
"Lebih baik kamu gak usah ikut campur lagi, Ze. Aku gak mau keluarga kita semakin berantakan untuk masalah-masalah orang tua kita," jelas Vello .
Azea yang mendengar kalimat yang tak pernah diucapkan oleh Vello merasa sedikit tersinggung. Dia tahu betul bagaimana perasaan Vello saat ini, hanya saja dia ingin sepupunya ini menepati janji untuk cerita lebih dulu tanpa menerka-nerka apa yang terjadi. Memang tidak semua hal harus diceritakan tetapi, baginya Vello yang menceritakan setiap masalahnya itu lebih baik. Karena dia tidak mau hal yang terjadi pada bang Al, terjadi juga pada sepupu terdekatnya ini.
"Aku takut, Vel. Aku takut kamu seperti bang Al," ujar Azea. Wajahnya terlihat sedikit pucat.
"Udah jangan sedih. Aku antar pulang, ya."
Dua tahun lalu merupakan tahun terburuk bagi keluarga Vello, terutama Vello sendiri. Orang yang paling dia kagumi, yang selalu mensupport dia ketika dia mencoba hal-hal baru dan selalu ada ketika dia dimarahi oleh ibunya pergi tanpa pamit. Seperti hal yang memang sengaja diatur pada waktu yang pas, sehingga meninggalkan luka yang cukup membekas.
Alken, kakak laki-laki Vello satu-satunya memilih mengakhiri hidupnya tepat sehari sebelum ujian nasional diadakan. Padahal Al meruapakan anak yang cukup ceria. Selalu tersenyum dan tidak pernah mengeluh dengan semua yang diatur oleh ibunya. Les yang diatur setiap hari, sehingga tidak ada waktu untuk bermain dengan teman-teman sebayanya. Azea dan Vello sendiri kerap belajar bersama abang mereka itu. Al selalu membantu mereka menyelesaikan soal-soal yang cukup sulit.
Alken anak yang sangat pintar. Selalu meraih peringkat pertama di sekolahnya. Namun ibu mereka tidak pernah melihat hal itu, beliau hanya menuntut agar Alken tidak turun dari peringkatnya saat itu. Jangankan pujian, bahkan ibunya tidak pernah puas dengan nilai-nilai yang anak pertamanya itu dapatkan.
Mungkin karena tekanan-tekanan itu juga yang membuatnya memilih jalan yang salah. Seperti memberikan hukuman untuk ibunya karena terlalu banyak menuntut dan membatasi kebebasan masa remajanya. Sayangnya, ibu mereka bahkan tidak benar-benar merasa kehilangan. Justru ia menumpahkan tuntutan-tuntutan itu pada anak keduanya-Rakhavello.
Azea menyeka air matanya mengingat kenangan mereka bersama Alken. Azea benar-benar takut Vello memilih hal yang sama. Padahal ibunya sudah pernah menasihati adiknya itu. Hanya saja tidak pernah didengarkan dan justru merusak hubungan mereka sebagai kakak dan adik.
Kak Alken, Zea takut Vello pergi dengan cara yang sama.
"Kamu harus kuat ya, Vel."
........ Bersambung.
/Tidak ada yang paling membosankan dari menunggu. Karena hasilnya belum jelas, namun lelahnya terasa membekas🤡
KAMU SEDANG MEMBACA
HALAMAN TERAKHIR
Novela JuvenilSingkat saja, setiap orang memiliki masalahnya sendiri. /Sebuah proses mengasah gabut oleh orang gabut. Selamat menikmati ceritanya 🔥