Semakin hari semakin terasa membosankan. Tidak hanya perjalanan hidupku tetapi, orang-orang di sekitarku pun sama membosankannya. Aku ingin mengakhiri hal yang mencekik ini.
~Rakhavello~
Hari ini Vello tidak juga masuk sekolah. Azea dan Metha sempat menghubunginya tetapi, tidak ada jawaban dari pria itu. Sudah dua hari pria itu tidak menampakkan batang hidungnya. Vello termasuk salah satu siswa yang membuat suasana di kelas menjadi lebih hidup. Tanpa kehadirannya dua hari belakangan ini, kelas terasa cukup sepi. Azea berniat mendatangi rumah Vello jika saja pria itu tidak mengirimkan pesan larangan. Metha sendiri dilanda kegalauan karena ketidak hadiran orang yang selalu mengganggunya itu.
Selain Vello, Cira dan Kiara juga mengajukan surat izin untuk tidak hadir karena kompetisi menyanyi mereka dilakukan hari ini. Tentu saja perihal kompetisi itu tidak tertera di surat izin mereka. Alasan yang mereka berikan adalah bahwa Cira sakit dan Kiara harus menjaganya. Apakah bunda mereka tahu akan hal ini? Sejak hari dimana bunda mereka marah, tidak sekalipun mereka berlatih di rumah lagi. Mereka memanfaatkan semua tempat untuk berlatih kecuali rumah. Dengan berbagai alasan menunda pulang agar lebih lama berada di luar. Mereka tidak bisa memakai tempat latihan yang ada disekitar sekolah karena jam tambahan yang diberlakukan setiap hari. Jika mereka pulang terlalu larut, itu hanya akan menimbulkan kecurigaan bunda mereka.
"Mereka ini pada kenapa sih?" Suara Metha terdengar lemas. "Vello dua hari tidak masuk, bahkan tidak membalas chatku. Si kembar bahkan pergi kompetisi tanpa meminta izin pada bunda Nela. Aku sangat khawatir jika mereka ketahuan. Bunda sangat benci kebohongan apalagi ditambah dengan melanggar larangannya."
"Kenapa bunda mereka sangat melarang mereka menyanyi?" tanya Azea tanpa berpaling dari komik yang sedang ia baca. Kamik dengan seri terbaru dari judul yang sama Girls World.
"Itu karena kakek mereka benci dengan penyanyi. Keluarga mereka menganggap menyanyi hanya membuang-buang waktu. Hampir semua adalah seorang dokter dari pihak bunda Nela," ujar Metha menjelaskan.
"Bagaimana kamu bisa tahu?" Azea menghentikan aktifitasnya dan kini fokus mendengarkan Metha. Wajahnya terpasang sangat serius menunggu kelanjutan cerita Metha.
"Sebelum aku lanjut, bukankah seharusnya kamu menceritakan tentang dirimu agar aku lebih mengenalmu?" Azea mengedipkan matanya beberapa kali. Mengambil kembali buku yang sempat ia simpan di laci meja. Metha yang melihat hal itu hanya terkekeh pelan. "Apa kamu ngambek?" Metha menunjuk-nunjuk wajah Azea dengan jari telunjuknya.
"Hentikan, aku sedang membaca," ucap Azea ketus. Kali ini Metha tidak merasa kesal dengan perkataan Azea, dia justru tertawa. Dia merasa lebih paham dengan temannya itu walau tidak sepenuhnya.
"Cobalah untuk lebih jujur, Zea. Agar kamu tidak merasa sesak. Jika butuh teman cerita, cari saja aku, ya." Azea membentuk senyum tipis. Sangat tipis hingga tidak dapat disadari jika tidak melihatnya dengan teliti.
"Ternyata sebegitu ngemisnya kamu berteman dengan orang munafik seperti dia, ya?" Gita yang berlalu di sebelah Metha mendapatkan tetapan sinis. Gita merasa kesal setiap kali melihat keakraban Azea dan Metha. Ada emosi yang memberontak meminta keluar namun tertahan.
"Sebaiknya kamu juga lebih menyadari kesalahanmu, jangan hanya menyalahkan orang lain," ujar Metha tenang.
Bel pertanda pulang berbunyi. Beberapa siswa memilih pulang untuk sekedar mengganti seragam mereka dan makan siang. Beberapa sudah membawanya dari rumah. Metha dan Azea memilih untuk membeli makan siang di luar lingkungan sekolah. Gita sendiri memilih ke taman sekolah. Suasana hatinya berantakan, bahkan nafsu makannya hilang walau perutnya memberontak meminta diisi.
"Apa yang sedang ku lakukan disini?" Suara seorang pria mengagetkan Gita.
"Bang Ali?"
"Boleh aku duduk?" tanya pria itu sopan dan hanya mendapatkan anggukan sebagai jawaban.
"Kenapa gak makan siang? Teman-temanmu dimana?" tanya pria itu lagi. Ia bersandar di kursi dengan melipat tangannya di dada, matanya terpejam.
Gita melirik sekilas kemudian mengalihkan pandangnya pada bunga-bunga yang mekar di taman itu. Tidak ada keinginan untuk menjawab pertanyaan pria itu. Sejujurnya Gita merasa sedikit takut pada pria itu. Pria yang terkenal cukup meresahkan di sekolah mereka karena terlalu lurus?
"A-aku boleh nanya?" Akhirnya Gita bersuara membuat Ali membuka matanya.
"Tanya apa?"
"Apa kamu pernah dibenci seseorang tanpa kamu tahu alasannya?" tanya Gita cepat.
"Bukannya kalian semua membenciku tanpa sebab?" Kini posisi pria itu berubah. Menatap Gita dengan memasang senyum tipis. Jika diperhatikan pria ini memiliki alis tebal dan bulu mata yang cukup panjang.
"Manis," ujar Gita tanpa sadar.
"Terima kasih." Ali tertawa kecil melihat wajah kaget Gita. "Apa kamu dibenci temanmu?" Kini wajah Ali terlihat serius menanyakan hal itu. Sembari memandang wajah Gita yang sedih dari sisi kirinya.
"Apa kamu pernah bertanya pada temanmu itu?"
"Aku bahkan tidak punya kesempatan untuk bertanya. Dia mengabaikanku seakan-akan aku gak ada disekitarnya. Bahkan, setiap kali aku menggunakan bantuan orang lain, dia langsung tahu dan menolak dengan berbagai alasan. Karena sikapnya yang seperti itu, perlahan aku juga membencinya."
"Apa kamu ingin membencinya?"
"Tidak sama sekali. Aku tidak bisa membencinya walau terkadang mulutku dengan mudah mengatakan itu." Gita menundukkan kepalanya memainkan ujung roknya. Banyak tanya yang ingin dia lontarkan, hanya saja buka pada Ali melainkan pada Azea.
"Hmm, jika seperti itu aku bahkan tidak bisa memberikan saran kecil sekalipun. Seseorang tidak akan membencimu tanpa sebab kecuali dia orang yang memang hatinya jahat. Jika dia pernah menjadi temanmu, pasti dia orang yang baik, kan?" Gita mengangguk sembari menyeka air matanya yang hampir jatuh. "Pasti ada alasan yang membuat dia kecewa, atau justru takut kamu kecewa. Terkadang kita tidak boleh menebak-nebak isi hati dan pikiran seseorang. Lebih baik tanyakan secara langsung dan minta penjelasan. Jika pada akhirnya tidak ada jawaban juga, maka satu-satunya cara adalah memberi jarak agar keduanya tidak terluka. Biarkan waktu yang memproses semuanya, sampai hati kalian mampu melawan rasa kecewa itu dan mampu menjelaskan hal yang menjadi masalah diantara kalian sebelumnya," lanjut Ali dengan raut wajah serius.
"Kamu seperti orang tua, ya," ujar Gita. Menyadari mulutnya berbicara tanpa berpikir membuatnya langsung meminta maaf dan memukul mulutnya sendiri.
"Mulutku me-memang kadang suka gerak sendir," ujar Gita sembari nyengir kuda. Ali mengusap kepala gadis itu sembari tersenyum, "setidaknya aku memang sedikit lebih tua dari kamu," ujar Ali kemudian berlalu meninggalkan Gita yang mematung. Wajahnya sedikit memerah, detak jantungnya tidak karuan. Bukan karena sakit jantung dadakan, justru seperti rasa senang yang bercampur dengan rasa gugup. Ia sendiri tidak paham dengan apa yang sedang ia rasakan saat ini.
"Jangan bilang ini cinta monyet? Tapi .... Aku Gita bukan monyet," celetuk Gita.
...... Bersambung
/Jika menunggu adalah caramu menumpuk rindu, maka kamu akan tersiksa jika obat temu yang kamu tunggu tak kunjung bertamu 🤡
KAMU SEDANG MEMBACA
HALAMAN TERAKHIR
Teen FictionSingkat saja, setiap orang memiliki masalahnya sendiri. /Sebuah proses mengasah gabut oleh orang gabut. Selamat menikmati ceritanya 🔥