Part 3

16 7 5
                                    

Azea tidak bisa fokus pada penjelasan gurunya sejak tadi. Pagi ini ia berdebat dengan ibunya dan sekarang ia dibingungkan oleh sikap Metha yang tiba-tiba cuek.

"Bagaimana? Apa kalian sudah paham?" tanya Bu Ratna membuyarkan lamunan Azea.

"Kalian harus hadir pada jam tambahan yang diprogramkan oleh kepala sekolah mulai besok. Ini demi kebaikan nilai kalian juga. Jika ibu menemukan ada kelompok yang anggotanya tidak hadir sekali saja, seluruhnya akan ibu hukum," tegas Bu Ratna menciptakan keriuhan di dalam kelas.

Azea melihat papan tulis untuk memeriksa kelompoknya, tentu saja Metha berada disana bersamanya. Azea tersenyum tipis, ia merasa ini bisa menjadi kesempatan untuk mengetahui penyebab Metha bersikap berbeda hari ini.

"Maaf, Bu. Saya ingin pindah kelompok," ujar Metha sembari mengangkat tangan kanannya merasa keberatan.

"Kenapa?"

"Saya hanya merasa, kelompok saya kali ini terlalu jauh rumahnya. Saya takut jika ada tugas yang harus dikerjakan bersama, kami kesulitan bertemu," ujar Metha menjelaskan.

"Metha, ini hanya kelompok belajar untuk program tambahan, les gratis dari sekolah supaya kalian dapat pelajaran tambahan untuk persiapan ujian, bukan kelompok belajar untuk kegiatan kelas." Bu Ratna menegaskan, membuat Metha mengerucutkan bibirnya.

Azea melirik Metha sekilas. Untuk pertama kalinya dia melihat Metha yang tidak senang satu kelompok dengannya. Padahal biasanya, tanpa persetujuannya Metha suka membuat kelompok sendiri dengannya.

"Metha," lirih Azea membuat Metha kaget tetapi, ia enggan menoleh. Metha berpura-pura tidak mendengar panggilan Azea. Azea yang melihat gelagatnya itu hanya menghela nafas pasrah.

Bel istirahat berbunyi, membuat para siswa berhamburan. Beberapa lari ke lapangan untuk bergabung dengan adik kelas mereka yang sedang bermain basket, beberapa memilih ke perpustakaan karena ada Ac-nya, beberapa berlari ke kantin untuk memanjakan perut mereka, dan sisanya memilih tetap berada di kelas.

"Metha, aku mau bicara sama kamu." Vello menarik tangan metha keluar kelas. Mereka berjalan menuju taman sekolah. Metha yang tau apa tujuan Vello mengajaknya berbicara hanya memilih mengikuti pria itu.

"Azea lagi?" tanya Metha sesampainya di taman. Vello menaikkan sebelah alisnya. Poninya yang mulai memanjang menutupi kerutan dahinya. Mata mereka saling bertatapan. Metha menatap Vello datar tanpa berkedip. Ada rasa muak yang tergambar dari raut wajah gadis itu.

"Kenapa kamu tiba-tiba berubah?"

"Ha? Berubah? Memangnya aku ultraman sampai bisa berubah?"

"Metha, aku tahu kamu sedang menghindari Azea, kamu kenapa sih? Padahal kamu selalu senang bareng dia." Vello menarik tangan Metha yang ingin pergi dari hadapannya.

Metha memutar bola matanya malas menyilang tangannya di depan dada. Menatap pria itu dengan ekspresi tidak peduli.

"Aku hanya kasian dengan dia yang gak punya teman. Ya, walau kelas satu dulu teman dia cukup banyak, dan yang lain menghindari dia karena dia yang dingin, but  setiap orang pasti akan muak dengan sikap orang yang suka mengabaikan," ujar Metha menepis tangan Vello kemudian berlalu meninggalkan pria itu kebingungan.

Disisi lain Azea tengah berseteru dengan Gita. Azea tidak menghiraukan Gita yang terus-terusan berusaha membuat keributan. Bahkan dia dengan sengaja menumpahkan sedikit minuman yang dia pegang ke meja Azea, sayangnya untuk marah pun Azea enggan.

"Kamu kenapa sih? Mau sok jual mahal terus? Aku heran deh dengan kamu yang tiba-tiba ngejauhin teman yang selalu support kamu. Sekarang gimana? Gak enakkan rasanya dijauhin oleh orang yang biasanya ada buat kamu?" Gita menopang dagunya dengan kedua tangan, menatap lurus pada Azea yang sibuk berkutat dengan komik yang ia baca. Gita yang kesal karena diabaikan menggebrak meja dengan cukup keras, sehingga membuat mata Azea beralih menatapnya.

"Akhirnya melihat aku juga kamu. Kamu ini memang orang yang egois, ya? Menjijikkan karena selalu merasa paling penting. Aku benci sama kamu, aku nyesel pernah meminta berteman dengan kamu," ujar Gita kemudian meninggalkan meja Azea.

"Aku juga membencimu, bahkan sangat." Azea meletakkan buku komiknya, beranjak dari kursinya dan dengan sengaja menabrakkan bahunya dengan bahu Gita yang berdiri mematung setelah mendengar kalimat Azea.

***
"Aku pulang." Gita melemparkan tasnya ke kursi ruang tengah. Ia berjalan menuju dapur tempat mamanya berada.

"Sebentar ya, sayang. Mama masih masak sop kesukaan kamu. Tadi mama hampir lupa karena keasikan nonton drama terbaru."

"Iya, Ma. Gita juga belum lapar-lapar banget." Gita duduk di kursi, merebahkan wajahnya dengan tangan sebagai tumpuan di meja makan. Ditatapnya lurus wanita yang masih terlihat muda itu. Jika mereka pergi keluar, orang-orang akan berpikir mereka kakak adik. Padahal usia ibunya saja sudah tiga puluhan lebih.

"Owh, iya. Gita hari ini papa akan pulang. Katanya dia bawa coklat kesukaan kamu."

"Oke."

"Kok lemes gitu anak mama? Ada apa sayang? Di sekolah ada masalah?" Ibunya mendekati Gita karena khawatir. Gita merasa ragu untuk menceritakan masalahnya pada ibunya tetapi, dia sendiri juga bingung jika tidak menceritakan masalahnya itu.

"Sebenarnya, Ma." Gita menarik nafasnya kemudian menghembuskannya perlahan, "Gita dan Azea bertengkar," lanjutnya. Ibu Gita sedikit terkejut karena ternyata Gita dan Azea masih berhubungan. Ibunya menyeka keringat yang mengalir di dahinya. Wajahnya memanas. Tanpa merespon cerita Gita, mamanya berbalik melanjutkan memasak sop yang belum selesai tadi.

"Sudah gak papa, teman bukan hanya dia," ujar mamanya tanpa melihat ekspresi wajah Gita yang terlihat sangat kecewa dengan respon mamanya.

Setelah menikmati makan siang yang dihidangkan oleh mamanya, Gita melanjutkan aktifitas yang biasa ia lakukan. Mengerjakan pekerjaan rumah kemudian tidur sebentar untuk mengistirahatkan tubuhnya.

Sayup-sayup Gita dapat mendengar suara seorang pria dengan mamanya mengobrol. Mamanya terdengar sangat antusias menyambut kepulangan suaminya. Gita yang mendengar namanya dipanggil berulang kali, memilih menarik selimut yang ia pakai hingga menutupi wajahnya.

"Dia bukan ayah, kenapa mama begitu bahagia dengan dia?" batin Gita. Tanpa ia sadari air matanya mengalir, menuangkan segala kerinduannya pada ayah kandungnya yang pergi meninggalkannya sejak ia masih di sekolah dasar.

***
"Kenapa aku harus peduli dengan setiap orang? Sejak awal aku tahu akan begini akhirnya. Permasalahan sepele yang merusak hubungan antar satu dengan yang lainnya. Tidak perlu heran jika melihat banyak interaksi yang semula menarik menjadi renggang. Aku pun begitu, tidak tertarik dengan orang-orang itu."

Azea menatap langit yang gelap tanpa bintang, bahkan bulan pun tak terlihat. Kedua lututnya ia peluk untuk mengurangi rasa dingin pada tubuhnya.

Ting!

Satu notifikasi dari grup obrolan masuk. Azea melihat notifikasi itu sekilas, lalu mengabaikannya.

Ting!

Notifikasi dari seseorang kemudian ikut masuk. Azea melirik sekilas pada beranda ponselnya. "Jangan ganggu anak saya?" lirih Azea membaca pesan yang masuk tersebut. Ia mematikan ponselnya, kemudian memasukkannya kedalam tas dan beranjak dari duduknya untuk kembali ke rumah. Dengan seragam yang masih melekat pada tubuhnya sejak pagi. Ia tidak ingin pulang ke rumah karena ibunya terus berbohong dengan beralasan sibuk di butik. Azea berniat untuk mendatangi mamanya di tempat kerjanya tetapi, niat itu ia urung karena takut mamanya kecewa padanya yang terlalu egois dan tidak mau mendengarkan beliau.

Padahal hanya ingin memeluknya sebentar. Aku benar-benar merindukannya tetapi, sepertinya mama tidak merindukan aku sedikitpun. Dia pasti sangat terluka sehingga bingung harus apa.

•••• bersambung!

/tidak usah di tunggu, nanti kamu lelah🤡

HALAMAN TERAKHIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang