"Jadi.., apa kau bahagia?"
Pertanyaan itu masih terngiang di telinganya.
Sebenarnya setelah dipikir-pikir, kehidupan pernikahannya tidak bisa dibilang buruk. Tapi lebih tidak bisa lagi dibilang baik.
"Apa selama ini.., aku bahagia?" tanyanya lagi pada diri sendiri.
Ia meletakkan punggungnya di sofa. Tangan kanannya terangkat, memperlihatkan cincin pernikahan yang terpasang apik di jari manisnya.
Sekitar dua tahun lalu, keluarga Heeseung datang ke rumahnya, menyampaikan tujuan untuk menjadikannya sebagai menantu keluarga Lee.
Heeseung ada di sana, sangat tampan dan sopan. Sikapnya juga sangat manis dan perhatian.
"Tapi semua itu palsu," gumam Jay mengingat bagaimana Ia dipinang dulu. "Kalau dia tidak menyukaiku, kenapa menikahiku?"
Jay menggenggam tangan kanannya, meletakkannya di atas dada. Ia menatap langit-langit, larut dalam pikirannya sendiri.
"Kenapa ya aku menikahinya?"
* * *
Suara deru mesin pesawat dan percakapan dalam berbagai bahasa beradu di bandara, mengiringi hiruk pikuk penumpang yang baru tiba maupun yang hendak berangkat.
Di antara mereka, seorang lelaki tampan dengan jaket kulit melangkah senang, menyeret koper hitam besar di belakangnya. Lelaki itu menoleh ke segala arah, mencari seseorang yang berjanji menunggunya di bandara.
"Heeseung!"
Lelaki itu berseru semangat melihat sosok tinggi yang berdiri tak jauh darinya. Sangat tampan.
"Selamat datang kembali." Heeseung merentangkan kedua tangannya, membuka pelukan untuk yang lebih muda. Lelaki itu membalasnya dengan pelukan erat, melepas rindu setelah dua tahun tidak bertemu.
"Bagaimana studi S2 mu?"
"Lancar! Aku lulus dengan nilai terbaik!"
Heeseung tersenyum, Ia mengusap pelan rambut halus yang lebih muda.
"Kau sudah makan?" tanyanya, dijawab dengan gelengan. "Ayo." Heeseung menarik lembut tangan lelaki itu, mengajaknya ke salah satu restoran terdekat di bandara.
* * *
Jam menunjukkan pukul 11 malam, namun Heeseung belum menampakkan tanda-tanda kepulangannya.
Jay menatap makanan yang sudah dingin akibat terlalu lama dibiarkan di atas meja makan. Ia menghela nafas, setidaknya suaminya itu bisa bilang padanya jika hendak pulang larut.
Ia hafal betul suaminya itu tidak akan makan di rumah jika pulang di atas jam setengah sebelas, dengan alasan sudah makan di kantor bersama teman.
Jay mengecek pesan di Hp nya, masih belum ada balasan. Bahkan pesannya dari tadi jam 7 belum dibaca.
"Mungkin sibuk," gumam Jay mencoba berpikir positif.
Jay meletakkan ponselnya, bersiap menyimpan masakannya yang tak tersentuh sama sekali. Tidak masalah, Ia bisa menghangatkannya untuk dimakan besok pagi.
Baru saja Ia berdiri, terdengar suara pintu terbuka pelan. Jay menoleh, Heeseung baru saja pulang.
"Mau makan atau mandi?" tanya Jay sambil berjalan menghampiri Heeseung. Ia membantu melepas jaket dan membawakan tas Heeseung.
"Mandi."
"Akan kusiapkan air hangatnya."
"Jay."
Jay menoleh, tidak biasanya Heeseung memanggilnya. "Hm?"
"Aku mau teh hangat."
Jay mengangguk, lantas menyimpan barang-barang Heeseung dan menyiapkan air hangat.
Heeseung menatap istrinya yang dengan telaten mengurus keperluannya. Entah kenapa, entah kenapa Heeseung merasa ada sesuatu dari diri Jay yang membuatnya merasa...
Heeseung menggeleng, menepis pikirannya. "Aku tidak bisa menerimanya."
.
.
.
.
tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Swastamita
Fanfiction- 𝒮𝓌𝒶𝓈𝓉𝒶𝓂𝒾𝓉𝒶 : berasal dari bahasa Sanskerta, yang berarti "senja"; sering kali diasosiasikan dengan perasaan tenang, melankolis, atau keindahan yang penuh kedamaian; menggambarikan situasi yang indah namun diiringi dengan keheningan dan...