Lima Belas.

560 66 17
                                    

Heeseung dan Jake kini duduk berhadapan di kantor Heeseung. Suasana tegang dan canggung melingkupi ruangan, seolah-olah udara di antara mereka berat oleh kata-kata yang tak terucapkan. Tidak ada yang bicara; hanya keheningan yang mengisi kekosongan. Dari gelagatnya, Jake nampak gelisah dan merasa bersalah, tangan-tangannya bergerak gelisah di pangkuannya sementara Heeseung menatapnya dengan pandangan yang tak terbaca.

"Apa yang kita lakukan..." Jake meratap pelan.

Heeseung menunduk. Keningnya berkerut.

Kacau, semuanya kacau.

Kemarin, Jay mengatakan akan pergi ke rumah ibunya. Heeseung pikir Jay akan berada di sana setidaknya sampai besok pagi. Namun, ternyata Jay kembali lebih cepat, mendapati mereka dalam keadaan yang memalukan. Heeseung menggeram rendah, hatinya dipenuhi perasaan kesal dan sesal. Kenapa juga ia menyetujui ajakan Jake untuk tidur di rumahnya? Pandangan Jay yang terluka sekilas menghantui pikirannya, menambah rasa sesal yang sudah ada.

"Kenapa kau tidak pernah bilang kalau kau menikah dengan sahabatku sendiri, Seung?"

"Jake—"

"KENAPA KAU TIDAK BILANG KALAU KAU MENIKAH DENGAN JAY?!"

Jake berteriak sambil menggebrak meja. Ia merasa jijik, jijik pada dirinya sendiri yang selama ini bermain di belakang dengan suami sahabatnya. Jijik pada kekasihnya yang berbohong tentang istrinya, menutupi kenyataan yang menghancurkan semuanya. Ia benci pada setiap kebohongan dan pengkhianatan yang telah mereka jalani. Dan bayang-bayang Jay yang menatap keduanya dengan pandangan terluka...

"AAAHHH!!"

Jake memegangi kepalanya. Kepalanya menunduk dalam hingga menyentuh lutut.

Kenapa? Kenapa saat itu Heeseung berbohong padanya saat Ia bertanya mengenai Jay? Saat Ia menunjukkan foto Jay? Saat Sunghoon menyebutnya mirip dengan suami Jay? Kenapa? Kenapa Ia bahkan tidak percaya pada Sunghoon yang memperingatkannya untuk menjauhi Heeseung yang memang pada kenyataannya adalah suami Jay?

Jake mendongak, Ia menatap Heeseung dengan emosi yang berkecamuk. Kecewa, marah, dan perasaan dikhianati berkumpul menyatu dalam dirinya.

"Heeseung." Ia berkata tajam. "Kau harus memilih."

Heeseung diam, Ia tahu hari ini pasti akan terjadi.

"Kau." Heeseung berkata yakin. "Aku memilihmu."


* * *


"Jay."

Sunghoon duduk. Ia menyapa Jay yang tengah menikmati minuman hangatnya sambil duduk di kursi taman. 

Angin sepoi-sepoi menggerakkan rambut Jay dengan lembut, membuat helaian-helaian rambutnya menari di udara. Sinar matahari menyentuh kulit Jay, memberikan kilau keemasan yang memberikan kesan hangat. Mata Jay tertutup, menikmati suasana dan minumannya. 

Sunghoon memperhatikan dengan senyum kecil, mengagumi keindahan sosok yang selalu membuat hatinya menghangat dan berdebar menyenangkan.

Jay menoleh. "Jauh sekali," komentarnya sambil tersenyum geli. "Mendekatlah."

Sunghoon tersenyum, Ia mendekat dan duduk di samping Jay.

"Kupikir kau marah padaku," Sunghoon memulai percakapan.

"Memang," kata Jay. "Tapi itu bukan salahmu," lanjutnya. "Aku tahu aku mencoba menjaga perasaanku, kan?"

Sunghoon tersenyum. Ia menyandarkan bahunya ke sandaran kursi taman, menikmati angin sepoi-sepoi dan cahaya matahari yang menyentuh kulit pucatnya. Tiba-tiba, ia merasakan sesuatu yang berat dan hangat menghinggapi pundaknya. Sunghoon menoleh, mendapati kepala Jay tengah bersandar di sana, matanya terpejam damai.

"Sebentar," kata Jay, "sebentar saja."

Sunghoon tersenyum hangat, meski Ia tahu Jay tak bisa melihatnya.

"Bahkan tanpa kau minta pun, aku sanggup melakukannya selama yang kau inginkan."

Di sekitar mereka, suasana begitu damai. Kicauan burung terdengar merdu, menjadi latar musik alami bagi mereka. Angin sepoi-sepoi berhembus lembut, menggoyangkan dedaunan di pepohonan dan membawa aroma bunga yang segar. Sinar matahari sore menyusup melalui celah-celah dedaunan, menciptakan pola cahaya yang indah.

Jay bersandar di pundak Sunghoon dengan tenang dan nyaman. Sunghoon bisa merasakan detak jantung Jay yang stabil, memberikan ritme yang menenangkan. Sesekali, helai rambut Jay yang terurai tertiup angin, menyentuh wajah Sunghoon dengan lembut. Sunghoon memejamkan matanya, menikmati momen tersebut.

Di kejauhan, suara gemericik air dari kolam kecil menambah kedamaian suasana taman. Bunga-bunga bermekaran di sekitar mereka, memberikan semburat warna-warni yang indah.

Keduanya tenggelam dalam keheningan yang nyaman, saling merasakan keberadaan satu sama lain tanpa perlu kata-kata. Waktu seolah berhenti sejenak, membiarkan mereka menikmati kedamaian dan kehangatan yang didapat dari kebersamaan.



.



.



.



.



tbc.


damai sekali ya...



SwastamitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang