Heeseung terbangun keesokan harinya, tanpa Jay disampingnya.
Asing, rasanya asing.
Apa mungkin Jay kabur? Pulang ke rumah orang tuanya?
Jika orang itu adalah Jay, kemungkinan lelaki itu akan pulang ke rumah orang tuanya. Mungkin setelah ini Ia harus mengurus surat perceraian.
Heesung bangkit dari kasur. Kakinya yang telanjang menyentuh lantai keramik yang dingin. Ia berjalan perlahan menuju kamar mandi.
Ia menyalakan shower, bersiap menerima hantaman air dingin. Namun, yang terasa di kulitnya justru aliran air hangat yang menenangkan.
Apa Jay masih di sini? pikirnya, karena biasanya Jay yang bangun pagi dan menyalakan pemanas air.
Heeseung keluar dari kamar mandi, menyadari kasur sudah tertata dan setelan kerjanya sudah tersedia rapi di atasnya.
Ia mengeringkan rambutnya dengan pengering, menatap kasurnya dengan pandangan yang sulit diartikan.
Sementara itu, Jay berada di dapur, menyiapkan sarapan sederhana berupa toast dan jus jeruk. Ia duduk di meja makan, memakan sarapannya tanpa menunggu Heeseung seperti biasa.
Heeseung duduk berseberangan dengannya tak lama kemudian, sudah rapi dengan setelan kerjanya. Ia memakan sarapannya, sesekali melirik Jay yang memakan sarapannya dengan tenang.
Mereka makan dalam diam, tak ada yang bicara. Hawa tegang sisa pertengkaran semalam masih terasa.
Suara dentingan alat makan terdengar janggal, menjadi satu-satunya suara yang mengisi kekosongan ruang makan.
Jay menyelesaikan sarapannya lebih dulu. Ia tidak beranjak, dengan tenang menunggu Heeseung menghabiskan makanannya.
Heeseung berdiri usai menyelesaikan sarapannya, Ia merapikan dasi dan kerah kemejanya. Sekilas Ia melirik istrinya yang duduk tenang di meja makan; tidak bicara, tidak melirik ke arahnya, dan tidak bergerak.
Sudahlah, apa yang bisa Ia harapkan dari Jay? Tidak ada.
Heeseung beranjak meninggalkan rumah, pergi bekerja mengendarai sedan hitamnya.
Jay memukul meja, perasaan sedih dan kecewa masih terasa menusuk di hatinya, menumbuhkan kemarahan yang membuatnya enggan bahkan untuk melihat wajah suaminya.
Air mata Jay menggenang, matanya sedikit merah menahan antara tangis dan marah. Ia mendongak, menutup matanya, mencegah cairan bening itu turun membasahi pipinya. Ia berdiri, bergegas membersihkan piring dan pergi menemui sahabatnya.
Selingkuhan suaminya.
* * *
Jake berjalan dengan langkah ringan dan senyum yang tak pernah pudar dari wajahnya. Matanya bersinar cerah, penuh harapan, dan kegembiraan, seolah-olah dunia kini berputar sesuai keinginannya.
Pagi ini, Heeseung baru saja mengatakan bahwa ia benar-benar akan segera bercerai dengan istrinya, lalu menikahinya. Membayangkannya saja sudah membuatnya merona, terkikik kecil dengan senyum yang semakin merekah.
Jake memasuki café yang pengunjungnya relatif sepi. Tempatnya relatif sepi dan sedikit terpencil. Café ini sebenarnya tidak terlihat meyakinkan, tapi entah kenapa sahabatnya, Jay, mengajaknya bertemu tempat seperti ini. Namun, Jake terlalu senang untuk sekadar protes. Mungkin saja Jay punya hal penting yang ingin dibicarakan.
Jake menemukan Jay duduk di sudut ruangan, duduk termenung sambil menatap kosong ke luar jendela. Di meja ada dua kopi panas, satu untuk Jay dan satu untuk Jake. Namun, Jake yang sedang dibuai kebahagiaan, tidak terlalu menyadari raut wajah sahabatnya. Dengan langkah ringan dan senyum lebar, Jake menghampiri Jay.
KAMU SEDANG MEMBACA
Swastamita
Fanfiction- 𝒮𝓌𝒶𝓈𝓉𝒶𝓂𝒾𝓉𝒶 : berasal dari bahasa Sanskerta, yang berarti "senja"; sering kali diasosiasikan dengan perasaan tenang, melankolis, atau keindahan yang penuh kedamaian; menggambarikan situasi yang indah namun diiringi dengan keheningan dan...