Sembilan.

553 57 19
                                    

Sekitar dua tahun yang lalu...

.

.

.

"Ah, kalian ga ada yang bisa datang?" Jay merengek, antara sedih dan kecewa.

"Aduh, maaf Jay, aku lagi di Moroco masalahnya, gak bisa mundur soalnya udah masuk babak eliminasi," Sunghoon berkata sambil menyeka keringat di wajahnya. 

Sepertinya Ia baru selesai latihan. "Lagian kamu dadakan banget ngasih taunya," lanjutnya.

"Maaf banget Jay, ini aku juga ngga bisa lagi di Aussie ada saudara nikah hari ini. Kamu sih, bilangnya kemaren banget," timpal Jake.

Jay cemberut, Ia dengan sangat sengaja menunjukkan raut wajah kecewa. "Yaudah deh, semangat ya Hoon buat olimpiadenya, semoga menang," kata Jay, "kamu juga Jake, jangan kelamaan galau. Masih ada kita."

"Jay..," Jake tersenyum haru. Ia, yang baru dua hari lalu meraung-raung karena ditinggal kekasihnya yang menikah dengan orang lain sehingga memutuskan pulang ke Australia hari itu juga. Mendapat penyemangat dari sahabatnya sejak sekolah menengah rasanya menyenangkan. 

Meski sejujurnya Ia masih tetap galau.

"Tinggalin ajalah cowo kayak gitu, mending lu cari cowo cakep di Aussie, banyak pasti," timpal Sunghoon, "contohnya gue."

Jake menatap jijik sahabatnya yang super narsis itu. Lagipula, sejak kapan Sunghoon dari Aussie? Bahasa Inggris saja belum lancar, mana logatnya amerika sekali.

"Jake, mukamu," kata Jay diiringi tawa.

"Maaf, auto geli liat dia bertingkah."

"Naksir bilang," kata Sunghoon yang langsung diberi tatapan datar kedua sahabatnya.

"Yaudah deh, udah waktunya aku resepsi. Pankapan ketemu lagi, ya!" Jay berkata sambil melambaikan tangan ke kamera.

"Bye, Jay~"

"Dah, cantik~"

Hari itu, adalah hari dimana Heeseung dan Jay resmi menjadi sepasang suami istri.

.

.

.

Jay bersandar di kursi taman, mengingat kembali hari pernikahannya dengan Heeseung, dimana tidak satupun dari dua sahabatnya datang. 

Terutama dengan Jake, yang dua hari setelahnya langsung berbagi cerita bahagia karena pacarnya yang tiba-tiba menemuinya ke Aussie, bersamaan dengan Heeseung yang mendadak pergi untuk perjalanan bisnis.

"Apa hari itu Heeseung menemuimu, Jake?" Jay berkata dengan suara pelan dan serak. Tidak ada yang mendengar atau menjawabnya. Ia duduk sendirian di tepi danau, menikmati langit dan udara malam yang dingin.

Tadi pagi ketika hendak menuju perpustakaan kota, Ia melihat Heeseung dan Jake tengah tertawa mesra.  Keduanya bermain kejar-kejaran dan saling berpelukan.

Jay awalnya tidak ingin mempercayai penglihatannya, namun Ia menjadi semakin yakin setelah berjalan mendekat. Terlebih setelah mengambil gambar dan memperbesar gambar itu.

Ia masih ingat, hari dimana Jake meraung-raung di kamarnya, bercerita bagaimana kekasihnya dengan tega meninggalkannya hanya untuk menikahi pilihan orang tuanya. 

Jay tidak tahu saat itu, kalau orang yang melamarnya adalah orang yang sama dengan orang yang ditangisi Jake.

Hari itu juga setelah menceritakan kesedihannya, Jake memutuskan untuk pulang ke keluarganya di Australia, menghibur diri.

"Siapa yang jahat disini? Aku yang mengambil pacar Jake, atau dia yang berselingkuh dengan suamiku?" Jay bertanya pada diri sendiri.

Jay menunduk semakin dalam, membiarkan air mata jatuh dari pelupuk matanya. Matanya sembab dan merah, menatap nanar pada permukaan danau yang memantulkan cahaya bulan.

Perasaan sakit yang menyayat hatinya membuatnya dadanya terasa seperti tercekik. Dadanya sesak dan nafasnya tersendat-sendat. Air mata jatuh tak henti-hentinya, membasahi tangannya yang gemetar.

Mungkinkah ini alasan Heeseung tak pernah menyentuhnya? Bukan karena Ia tidak menarik, tapi karena Ia bukan orang yang dicintainya? Lantas kenapa Heeseung menikahinya? Perjodohan? Tidak bisakah saat itu dia menolaknya?

Jay merasakan pergerakan di sampingnya, seolah ada seseorang yang duduk di sebelahnya. 

"Disini dingin," katanya sambil memakaikannya mantel biru tua yang tebal.

 Ia mendongak perlahan, matanya yang basah melihat Sunghoon duduk bersandar dengan matel hitamnya, menikmati hembusan angin malam.

"Sunghoon?" Jay memanggil pelan dengan suara serak.

"Kau sudah tahu, ya?" kata Sunghoon.

Sunghoon menoleh, menatap Jay dengan penuh keteduhan.

Jay yang ditatap seperti itu malah menangis semakin keras, membiarkan semua emosinya mengalir tanpa bisa dihentikan.

Sunghoon meraih Jay, perlahan menariknya dalam pelukan hangat. Jay membalas pelukan itu dengan erat, menyandarkan wajahnya pada bahu lebar Sunghoon. Ia menangis keras, membiarkan air matanya tumpah ruah, menemukan kenyamanan di tengah kehancuran emosinya. 

Sunghoon tidak berkata apa-apa, hanya memberinya pelukan dan usapan pelan di punggung dan bahu Jay, memberinya dukungan tanpa kata.

Tangisan Jay mulai mereda, Ia melepaskan pelukannya. Sunghoon mengangkat tangannya, menghapus jejak air mata di wajah lelaki manis yang dicintainya sejak lama sekali.

"Maaf," kata Jay pelan.

"Untuk?"

"Ingus dan air mataku menempel di mantelmu," kata Jay sambil menunjuk bahu Sunghoon yang basah.

Sunghoon terkekeh mendengarnya, Ia mengusap sisi wajah Jay. "Ngga papa," katanya. "Sudah mendingan?"

Jay mengangguk.

"Mau cerita?"

Jay menggeleng.

Sunghoon mengangguk, Ia mengerti. Ia tahu Jay bukanlah tipe orang yang bisa dipaksa untuk bercerita; memaksa hanya akan membuatnya marah dan menambah beban emosinya. Sunghoon memilih untuk menurut, membiarkan Jay meredam emosinya dan menenangkan pikirannya hingga ia siap untuk berbagi cerita.

"Kau tidak pulang?" tanya Jay.

Sunghoon menggeleng. "Aku disini sampai kau pulang."

Jay mengangguk, Ia merapatkan duduknya dengan Sunghoon, menyandarkan kepalanya di bahu lebar itu. Jay membiarkan Sunghoon menggenggam tangannya, memberinya rasa aman dan nyaman. 

Jay menghela nafas berat, Ia menutup matanya. Dalam hati Ia berharap, semoga semua ini hanya mimpi buruk semata.

.

.

.

.

tbc.

ini baru permulaan.

menurut kalian siapa yang jahat?

SwastamitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang