Perkataan Krizzia sukses membuat alisnya berkerut dalam. "Maksudnya?"
Ya, tujuannya mengatakan hal demikian bukanlah bermaksud untuk membuat Thea tersinggung.
Mungkin kakak tingkatnya itu akan menganggap bahwa ucapan itu mengarah pada dirinya yang bukan siapa-siapa, seperti halnya teman atau bahkan keluarga. Sehingga menasihati seperti itu, bukanlah menjadi haknya. Dan Krizzia tidak suka.
Namun yang sebenarnya, ucapan itu berlandaskan dirinya yang memang menyukai Thea, sementara posisi mereka tidak memiliki hubungan lebih dari itu.
Sederhananya, Krizzia tak mau Thea banyak mengatur karena gadis itu bukan kekasihnya. Thea boleh berbicara seperti dan bahkan memberikannya larangan, hanya jika Thea adalah kekasihnya.
"M-maksudnya gini, Kak.." Melihat Thea yang menatapnya lekat, membuat ia menjadi tak enak.
"I apologize... Lagi-lagi aku bikin kamu gak nyaman, ya?"
Menggaruk pelipis, Krizzia pun kembali angkat bicara, "Bukannn, bukan gituuu!"
"Yakali gua harus to the point?"
"Gini deh, kenapa Kakak sekhawatir itu sama aku? I mean, kita emang cukup deket. Cuma, kenapa Kakak sepeduli itu? Soalnya seinget aku, dari awal kita kenal pun, yang sering Kakak ingetin kayak gitu cuma aku. Temen kelompok aku yang lain kayaknya enggak waktu itu." Seiring ucapannya keluar dari mulut, Krizzia pun menyadari sesuatu. "Kak, aku gak mau kegeeran. Bisa jelasin gak?"
Gelapnya langit, serta cahaya yang hanya terpancar dari minimarket itu, membuat posisi mereka yang berada di ujung parkiran cukup remang-remang.
Namun dalam keadaan seperti itu, Krizzia masih bisa melihat wajah Thea yang masih menatapnya dengan raut tidak seperti biasa. Tentu saja, senyuman itu tidak lagi terpatri di wajahnya saat ini. Hanya ada kerutan alis serta mulut yang tetap terkatup rapat.
Ingin rasanya Krizzia memberi tahu gadis itu soal perasaannya juga. Mungkin dengan begitu, Thea mau bicara dan takdir baik, bisa saja berpihak padanya malam ini.
Namun jujur, sekarang Krizzia mendadak tak yakin.
"Maaf ya, Kak."
Tatapan kosong yang Thea layangkan, seketika kembali menatap objek di depannya itu.
"Kakak udah nasehatin aku, tapi aku malah kayak gitu. Aku bukan gak nyaman, kok, cuma batu aja anaknya tiap dibilangin. Hehhehe." Kepalanya menengadah sekilas menatap langit yang mulai menghitam. "Aku pulang dulu ya, Kak. See you?" Dengan cepat, Krizzia pun berjalan ke arah motornya, enggan bicara lebih jauh dengan gadis itu untuk saat ini.
Thea sendiri, hanya bisa mengangguk dengan senyum tipis di wajahnya dan membiarkan gadis itu pergi tanpa mengatakan apapun.
🎭🎭🎭
Pukul satu dini hari, Krizzia masih terjaga di tempat tidurnya. Jelas saja, percakapan tadi sore dengan Thea, masih menggangu pikirannya hingga saat ini.
Entah mengapa ia jadi merasa bodoh lantaran meminta penjelasan gadis itu karena sudah peduli padanya. Padahal jika dipikirkan kembali, hal itu cukup masuk akal terjadi karena mereka yang memang terbilang teman.
Dari awal masa OSPEK pun, seharusnya Krizzia merasa tak heran kenapa Thea yang notabenya adalah seorang kakak tingkat, bisa lebih dekat dengannya ketimbang yang lain karena dirinya yang memang lihai dalam bersosialisasi dengan orang baru.
Ya, itu harusnya menjadi hal yang wajar.
Namun mengapa tadi ia sempat beranggapan bahwa Thea sendiri memiliki perasaan serupa dengan dirinya sehingga rasa peduli terlihat sejelas itu?