12

187 22 2
                                    

"Gak mau ngomong, 'long time no see', gitu?" Melihat Krizzia yang hanya diam dengan raut bingung, ia pun menghela napas. "Anyway, aku duduk, ya." Pandangannya lurus menatap gadis itu sembari menopang dagu. "Gimana kehidupan kuliah? Sesuai ekspetasi gak? Apalagi sekarang ngerantau. Pasti kangen pulang, ya? Susah gak sih ngurus diri sendiri pas lagi sibuk-sibuknya sama kegiatan di kampus? Aku liat, kamu kayak makin kurus."

Krizzia tersenyum getir sembari mengalihkan pandangan ke arah cangkir kopi. "Emang masih peduli?"

"Kriz... It was not my fault..."

"Yea, it wasn't. Gak ada yang nyalahin lu kok."

"Then stop being mad."

"Bukannya lu yang bilang kalo muka gua kayak orang judes padahal aslinya enggak? So, kalo lu mikir gua marah, itu cuma keliatannya aja."

"Pas aku baru dateng tadi, kamu bahkan gak ada seneng-senengnya dan malah nanya ngapain aku ada di sini. Masih marah berarti, kan?"

Ditatapnya kembali orang itu seraya menggaruk alis. Dengan rambut panjang bergelombang, makeup korean look, pakaian bewarna cerah dengan padu padan yang baik, serta bola mata coklat terang bersemu hijau di sana, penampilan gadis itu tidak banyak berubah sejak terakhir kali Krizzia meninggalkan kota itu, tempat di mana ia dan orang yang berada di hadapannya ini berasal. "Gua bukan orang sini, lu juga. Makanya gua nanya kayak gitu."

"Enggak. Harusnya kalo konteksnya gitu, kamu bisa nanya, 'kok bisa ada di sini?'. Soal aku ngapain di sini, kamu tau sendiri ini tempat apa. Gak mungkin kan aku di sini buat renang?"

Menghembuskan napas, Krizzia pun mengubah pertanyaan sesuai yang dimau oleh gadis itu. "Kok bisa ada di sini?"

"Karena mau ngopi, lah. Apa lagi?"

Tangannya langsung menutupi mata dengan helaan napas keluar dari mulutnya.

"Heheheh, bercanda. Aku sengaja aja ke sini mau ketemu kamu. Baru tadi siang banget aku dateng. Biasanya, aku cuma ngasih pesan lewat makanan doang, kan."

Matanya membulat menyadari hal tersebut. "Lu yang ngirim-ngirim makanan kemaren?"

"Yep. Gak dibuang, kan?"

"Anjirlah, gua berasa diteror. Ngapain sih harus kayak gitu?? Lu kan masih bisa chat gua kalo mau ngobrol. At least kasih tau gua kalo yang ngirim elu."

"Sorry... Aku gak tau mau ngasih ke kamunya gimana, takut gak bakal diterima kalo tau itu dari aku. Makanan itu aku kasih semata-mata buat permintaan maaf. Tapi karena mikir itu kurang efektif, jadi aku dateng langsung aja. Oh ya, aku tau alamat kamu dari temen aku yang satu kampus juga sama kamu."

"Siapa??"

"Kamu gak bakal kenal sih, dia anak FISIP. Aku minta tolong dia buat ikutin kamu pulang dan share lokasinya ke aku..."

"Za..Siza, siapa yang ngajarin lu jadi intel?? Look.." Kedua tangan Krizzia taruh di atas meja, seolah hendak memulai pembicaraan serius. "Gua hargain effort lu buat minta maaf. But please? Just don't do that. Sebelum gua pergi ke sini, kita juga udah ngobrol dan gua paham kalo akhirnya bakal kayak gitu. Yang jelas, kita udah selesai, Za."

Gadis yang diketahui bernama Siza itu kini menunduk. "Tapi aku ngerasa gak enak kamu digituin sama Mama Papa... Waktu itu kita juga cuma dikasih waktu ngobrol bentar sampe akhirnya gak ketemu lagi. Kalaupun mereka gak setuju sama hubungan kita, gak seharusnya mereka maki-maki kamu kayak gitu. Malah Mama sampe nampar kamu... Aku kepikiran terus soal itu, bener-bener gak enak sama kamu. Kita juga jadi harus putus gara-gara mereka egois."

UnpredictableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang