How sweet...

1.1K 112 14
                                    

Baru sebentar remaja itu ikuti arah pandang ibunya, sedetik ketika ia kembali arahkan tatap, sang ibu sudah lebih dulu berpindah tempat.
Lari. Wanita itu berlari menuju anak lain di tengah jalan raya ketika harusnya ia tak melakukan itu demi keselamatannya. Tapi mungkin, perasaan sebagai seorang ibu membawanya untuk hampiri anak lain tersebut --untuk melindunginya, sebagaimana ia harus lindungi anak kandungnya, bertepatan dengan kendaraan yang melaju semakin dekat.

Sampai ketika suara BRAK! menggema di telinga semua orang yang ada di sana, seketika jalan raya berubah menjadi merah.

Dibanjiri darah segar.

_____________________________________

Dalam gelap bumi diterangi bulan, ditemani lampu temaram halaman rumah, Jaemin di sana. Duduk sendirian, menatap kosong udara. Bulan dengan bulatan sempurna jadi alasannya duduk sendiri di halaman rumahnya. Karena hanya dengan begitu, dia dapat ketenangan. Walaupun tak sesempurna rembulan di atas sana.

Dalam hening yang hanya ada suara serangga bangsa Orthoptera, ketambahan bunyi tapak kaki seseorang memecah lamunannya. Seseorang berjalan masuk halaman rumah. 

Berjalan lamban takut-takut, ketika dapati Jaemin duduk di depan pekarangan rumah. Haechan menunduk cemas sambil terus ambil langkah maju.

Tahu, dia sudah mengganggu ketenangan Jaemin dengan kepulangannya ke rumah ini.

Sementara sesuai pikiran Jaemin, Haechan benar pulang ke kediamannya meski butuh waktu 3 jam hingga si manis kembali dilihat matanya. Bertepatan dengannya yang duduk pada kursi lipat di halaman depan, nikmati malam bulan purnama.

Ketenangan yang tadi bersama direnggut paksa, hilang diganti amarah.

Wajah itu, Jaemin tak suka melihatnya.

Wajah itu, alasan hilangnya wujud ketenangan Jaemin 13 tahun yang lalu.

"Ck, kenapa baru sampe jam segini?"

Ah, Jaemin yang kasar itu sudah kembali rupanya.

Dia pandangi Haechan dari atas sampai bawah, pakaiannya lusuh dibanding sebelum mereka berangkat ke hutan. Mungkin dia jatuh beberapa kali sewaktu di sana. Apapun itu, Jaemin tidak peduli.

Sinis tatapan Jaemin, kembali siap menusuk Haechan melalui netra yang saling bertubrukan. "Mana burungnya?" Sebuah pertanyaan retoris yang tak perlu dapat jawaban. Sudah jelas terlihat, Haechan kembali dengan tangan kosong.

Lalu Haechan menunduk takut, jemarinya saling memilin satu sama lain. Bibirnya dibuka mencipta celah, suarakan jawaban untuk Jaemin dengar. "Burungnya nggak ada, saya nggak nemu, Jaemin."

Decakannya terdengar lagi, "Makanya matanya tuh dipake!" Dan tak cukup dengan kata, Jaemin juga tunjuk netra manis itu dengan jarinya bahkan sampai dorong pelipis si manis dengan telunjuknya.

"Maaf."

"Emang gak guna. Udah sana. Muak saya liatin kamu lama-lama."

Patuh, Haechan ambil langkah ke depan turuti perintah pria itu. Untuk menuju pintu utama, masuk ke dalam rumah.

Tapi, "A-awhh." tangan Haechan jatuh memegang pundak Jaemin sebagai tumpuan, sedang satu lagi dibawa naik pegang kepala. "Jaemin, kepala saya sakit banget." Ada desisan di sana, keningnya mengerut dengan pejaman mata. Haechan menahan sakit kepala yang mendera.

Dan abainya Jaemin, memaksa Haechan untuk kembali bicara. "Mungkin karena dari siang saya belum makan. Bisa tolong bantu saya masuk ke dalam?"

Jaemin mendelik, "Jangan manja. Kalo gak bisa jalan, sana merangkak kayak anjing sampe bisa masuk sendiri." Tangan yang lebih kecil Jaemin jangkau di atas pundaknya, dicekal kuat untuk segera ia hempas.

When the day comes | NAHYUCK (ON HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang