Ketika semua yang dia rencanakan tidak berjalan dengan semestinya, Haechan dibuat dongkol padahal hari baru akan dimulai.
Lupakan tinggal berdua dengan Jaemin di hari kedua, sekarang ini, di hadapannya seseorang baru saja keluar dari mobil yang biasa mengantar jemput bi Ara.
Namanya Minjung. Perempuan yang disambutnya bersama Jaemin dari pintu utama rumah. Dan pada semua yang bersinggungan dengan Na Jaemin, Haechan tahu segalanya tanpa perlu dikenalkan.
Minjung, pancarkan senyum pada dua orang yang akan jadi tuannya selama gantikan sang ibu di sini. Tapi kentara terlihat kalau tatapnya jatuh pada sosok yang berdiri di sisi kiri. Ialah Na Jaemin, tersenyum tipis pada Minjung yang tak luput dari perhatian si manis.
Lalu, dari senyum yang mengembang itu, Haechan juga bisa lihat. Kalau, anak perempuan bi Ara berpotensi menjadi tirai penghalang. Ah, dari bagaimana Minjung —anak dari asisten rumah tangga itu menatap Jaemin penuh kagum, begitu mudah untuk membenarkan hipotesisnya.
Tidak seharusnya Haechan membenci seseorang di pertemuan pertama. Tapi agaknya, ada pengecualian untuk pertemuan kali ini, sikap Jaemin yang kelewat ramah pada Minjung tidak bisa Haechan anggap biasa. Pria itu bahkan umbar senyum begitu mudah.
Demikian itu, sudah cukup dari sistem syarafnya mengantar hormon pemicu amarah sampai di kepala.
Sial.
Jemari lentik itu saling mengapit, berkumpul. Terkepal kuat mengandung kesal yang mendadak naik ke permukaan.
Haechan pergi dari sana setelah pamit sebagai formalitas. Pilih lanjutkan sarapan yang sempat tertunda daripada muntah melihat senyum manis Minjung yang kentara dibuat-buat.
"Katanya nggak enak badan. Bukannya istirahat, malah ngobrol sama yang lain." Haechan, menggerutu lirih. Tatap tanpa minat makanan di atas piring. Kasihan makanan, hanya dikoyak dengan sendok tanpa mau dilahap.
Tadi pagi Jaemin bilang, dia kurang enak badan. Tapi Haechan tak melihat keadaan yang Jaemin sebutkan ketika pria itu justru lebih pilih berbincang lama dengan Minjung.
Samar suara yang Haechan tebak sekarang mereka pindah pada ruang televisi di rumah ini, lebih banyak suara nyaring milik si perempuan yang sering terdengar dan Jaemin hanya akan balas seadanya. Walaupun Haechan tahu keadaan sebenarnya, kalau, Jaemin tidak mendadak jadi seorang ekstrovert, tapi kenyataan Jaemin bersikap lebih baik pada Minjung ketimbang padanya seakan menumbuhkan duri dalam tubuhnya. Menusuk tanpa terlihat.
Melepas sendok dan garpu, Haechan teguk air minum sebelum pergi dari dapur. Makanannya tidak selesai, tinggalkan bekas piring dan gelasnya di atas meja. Biar saja, nanti Minjung yang bersihkan.
Kursi roda di dorongnya menuju elevator di samping tangga yang mana Jaemin dan Minjung juga ada di ruang yang sama. Haechan sama sekali tak mau repot tampilkan raut keramah-tamahan ketika dua pasang mata menoleh pada keberadaannya. Haechan bahkan tak mau membalas tolehan dua orang itu, tempatkan mereka sebagai makhluk tak kasat mata yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjangnya.
Harusnya, Haechan yang bersikap acuh tidak akan timbulkan masalah. Sebab Jaemin seringnya tidak peduli dengan apapun tentangnya selama dia tidak mengganggu.
"Udah selesai sarapannya, Haechan?" Itu suara Minjung. Oh, Haechan ingat ketika telinganya mencuri dengar percakapan dua orang itu tadi, perempuan itu juga diminta Jaemin untuk memanggil mereka tanpa embel-embel 'tuan' sebagaimana ibu Minjung memanggil Jaemin dan Haechan dengan sebutan tuan.
Senyum dipaksakan, juga bersama deheman malas Haechan umbar. Terserahlah, yang penting dia sudah membalas meski seadanya.
"Biar saya bantu." Tahu-tahu Jaemin sudah berjalan ke arahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
When the day comes | NAHYUCK (ON HOLD)
FanficAnd he became the obsessed one. bxb