Butterflies

809 123 58
                                    

Asal tahu saja, Jaemin batalkan diri ke kantornya karena Haechan yang tenggelam tadi pagi.

Juga dia akan selalu mengekori Haechan kemanapun anak itu pergi, kecuali kamar mandi.

"Kenapa nggak dari kemarin gue tenggelamin diri, ya? Cari mati sih, mana harus keminum air kolam, —tapi sepadanlah sama apa yang gue dapetin sekarang." Haechan bergumam, bahwasanya, meski harus mengancam nyawa, akan dia lakukan demi dapatkan Jaemin selayaknya hari ini. Di depan pantulan cermin, dia tersenyum tipis sekali.

"Haechan, you okay?!" Seruan Jaemin dari luar buyarkan lamunan. Haechan menoleh, tawanya dibuang bebas. Oh ayolah, Haechan di dalam sini belum mencapai 5 menit sehingga Jaemin tidak harus berteriak dengan pertanyaan konyol itu.

Haechan tetap membalas, bilang kalau dia baik-baik saja kemudian lekas beranjak. 

Lalu satu kenyataan yang masih tidak Haechan sangka, dia disambut oleh figur Jaemin tepat saat pintu dibuka.

"Kenapa lama?" Sungguh, pertanyaan semacam ini tidak cocok dengan sosok Jaemin yang selalu hindari kalimat tidak penting.

Meski begitu, Haechan bahagia. Dia cuma, masih terkejut atas perubahan sikap Jaemin seakan hari kemarin dimana perlakuan buruknya tidak pernah terjadi. Well, semua perubahan butuh waktu untuk diterima. Begitu pula Haechan, yang meski semua ini sudah dia rencanakan dan persiapkan, dia tetap butuh waktu berbaur dengan keadaan sekarang ini; atas semua perubahan Jaemin yang terjadi di depan matanya.

Dia terkekeh pelan —saat kembali ingat beberapa kalimat konyol Jaemin— kemudian bilang, "Ini yang tenggelam saya atau kamu sih? Perasaan saya yang keminum air kolam, malah kamu yang berubah konyol." Lalu dia menggeleng; ada-ada saja. Berniat pergi dari sana, namun langkahnya terhalang Jaemin yang bergerak cepat memblokir jalan.

"Mau kemana?"

"Ke bawah. Udah sore dan saya belum bersih-bersih rumah."

Alih-alih Jaemin mempersilakan, Haechan justru dipeluknya —enggan dia melepas wira itu barang sejengkal. Baru setelahnya Jaemin berucap, "Nggak usah. Besok aja di kerjain sama asisten."

"Kamu mau bilang sama Minjung biar nggak masak lagi?" Alis si gemini menukik tanpa terlihat, hasil dari wajahnya yang sembunyi dalam dekap si tampan. Persoalan memasak itu, Haechan tidak mau lagi peduli. Meski dia senang memasak, dia tak sudi hormon bahagianya dirusak oleh pikiran tentang Minjung yang mencuri kegiatan favoritnya itu.

"Enggak."

Sukses mencipta garis kerut bersarang di kening si wira muda. Masih dalam pelukan tanpa niat melepas, Haechan tengadahkan kepala. Sebagai pengganti tanya, dia biarkan raut wajah yang bicara.

"—Saya mau hire asisten baru." Begitu Jaemin membalas, sehingga Haechan paham.

"Jadi makin rame, dong."

"Kamu nggak nyaman?"

"Bukan gitu," Napas lemah dibuang, Haechan melanjutkan, "Tapi nanti asistennya malah suka sama kamu. Kayak Minjung." Ugh, membayangkannya Haechan sudah tidak suka. Jaemin memang miliknya, tapi Haechan adalah seorang yang posesif atas apa yang dia punya.

Dia tidak berniat menambah pemain pendukung selain Minjung. Haechan hanya bisa memberi toleransi pada satu orang, bukan pada orang selanjutnya yang akan menjadi Minjung kedua. Lagi pula, sejauh ini Haechan tidak mencelakai Minjung sebagai bentuk hormatnya pada bi Ara yang sudah selalu baik padanya —meski wanita tua itu juga menjadi korban rencana Haechan.

"Biarin aja. Toh saya nggak suka sama Minjung atau yang lainnya."

"Saya yang nggak suka." Haechan membalas cepat. Bibirnya mengerucut, jemarinya bermain-main di atas dada Jaemin.

When the day comes | NAHYUCK (ON HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang