Pizza dan debar yang Jaemin rasa

794 113 51
                                    

Lebih cepat dari biasanya, Jaemin pulang pukul 7 malam.

Haechan baru menginjak 4 anak tangga dari atas ketika pintu utama keluarkan bunyi tanda seseorang datang.

Seharusnya itu Jaemin. Pikirannya bilang begitu, namun langkahnya mengayun lebih cepat sebab ragu.

Tepat ketika kakinya menapak lantai satu, derap langkah dari depan semakin nyaring terdengar. Sosok dalam pikirannya perlihatkan eksistensi.

Benar. Itu Jaemin.

"Tumben pulangnya cepet?" Sambutan pertama, Haechan bertanya. Tidak biasanya Jaemin sudah di rumah ketika waktu baru memasuki malam tidak lebih dari satu jam lalu.

Khas tampilan seorang pulang kerja, jas kerja ditenteng pada sebelah tangan, sebelah lagi pegangi tas kerja. Simpul dasi juga sudah melonggar, pun lengan panjang kemeja putihnya digulung sampai batas siku. 

Jaemin yang berantakan, justru terlihat semakin tampan.

"Kerjaannya udah selesai. —Kenapa tadi gak ngirimin saya makan siang?" Bahwasanya, Jaemin dipenuhi tanya sejak tadi siang. Bukan suatu hal penting kelihatannya, tapi salah satu alasan Jaemin cepat pulang hari ini adalah sebab pertanyaan yang baru saja terlontar. Tapi tenang saja, dia tidak melewatkan makan di waktu istirahat meski tak dapat jatah bekal dari Haechan.

"Loh, kamu lupa kalau bukan saya yang masak? —Oh, tapi Minjung juga nggak tau soal itu, sih." Si manis gedik bahu sekali, tidak peduli juga tak mau repotkan diri beritahu perihal bekal makan siang itu pada si anak baru. 

Jadi, waktu dirasanya tidak miliki jawaban untuk menimpali, si tampan pilih lanjutkan langkahnya yang sempat tertunda. Melewati Haechan yang sedari tadi masih berdiri di tempat yang sama. Di depan anak tangga pertama.

Beberapa detik diisi sunyi serta suara tapak kaki menaiki tangga jadi pengiring, "Kamu mau mandi atau mau makan dulu?" Jaemin dibuat hentikan ayunan tungkainya ketika tanya dari Haechan kembali mengudara. 

Pada punggung lebar si Agustus yang Haechan tatap dari belakang, si tampan balik badan. "Kamu mau masak?"

"Ya enggak? Kan Minjung udah masak sebelum pulang tadi. Saya cuma nyiapin aja di atas meja." Ketus Haechan membalas, Jaemin tangkap dengan seksama.

"Ini kamu marah sama saya?"

"Saya kedengarannya marah? —Maaf kalau gitu." Balas Haechan tanpa minat. Ucapan maafnya lebih mengarah pada enggan perpanjang masalah. 

"Bukan gitu. Kamu kenapa marah?"

"Gakpapa. Lupain aja."

"Haechan."

Tatapannya jatuh tepat menubruk manik Jaemin di depan sana, amarah yang Haechan tahan sejak pagi tadi akhirnya diminta untuk segera dikeluarkan oleh si pelaku utama. "Fine. Menurut kamu kenapa saya marah? —Kamu kenapa setuju gitu aja sama permintaan Minjung yang minta tukeran masak padahal kamu tau kalau saya juga mau hal yang sama?" Tawa masam menjeda, tatap miris sosok Jaemin. "Saya udah disini berapa lama, sih? Enam, tujuh bulan? Tapi kenapa saya malah dikalahin sama anak yang baru dua hari ke rumah ini? What the actual f—" Kelopak ditutup paksa, tangannya terkepal. Dia ketap bibirnya demi tahan ucapan yang bisa timbulkan keributan lebih parah.

Inhale - exhale. Aturan napas supaya lebih rileks dia lakukan. Perlahan maniknya dibuka yang langsung temukan Jaemin masih berdiri di tengah anak tangga.

Tapi dari tatap yang sedari tadi Haechan tangkap, air muka Jaemin tidak tunjukkan reaksi bersalah. Maka cukup sampai di sana, Haechan bisa tarik kesimpulan, kalau, di sini cuma dia yang meletakkan perdebatan tadi pagi sebagai masalah. "Udah, lah, lupain aja. Kamu mandi aja dulu. Tadi Minjung masak sup, biar saya panasin." Tutupnya lebih tenang, redam banyak kata yang ingin dia utarakan demi kontrol emosi yang bisa lepas lebih parah jika terus bicara. Egonya terluka, diikatnya dengan balutan kontrol diri begitu erat hingga rasanya sesak. 

When the day comes | NAHYUCK (ON HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang