Must be

744 99 6
                                    

Langkahnya diambil buru-buru. Jaemin baru ingat kalau Haechan masih dikuncinya di dalam kamar. "Bego banget Jaemin, bisa-bisanya lu lupa masih ngunci dia di kamarnya." Dia merutuk, menyalahkan kecerobohannya malam ini.

Sejak kepulangannya tadi siang, Jaemin putuskan bekerja dari rumah. Tapi kebiasaan tidak pernah mudah ditinggalkan. Dia tenggelam dalam lautan kalimat formal dengan bau bisnis pekerjaan dalam ruang kerja.

Lupa, seseorang tunggui dia bukakan pintu kamar.

Pikirannya tidak karuan, melayang pada keadaan buruk yang bisa saja menimpa Haechan sebab ulahnya malam ini. Anak itu harus makan teratur untuk segera sembuh. Tapi justru kebodohannya malam ini mungkin saja akan memperparah keadaan si wira muda.

Klek/

Gagang pintu disambar cepat seturut netranya bergulir menyapu ruangan.

Tapi yang dia cari tidak tampilkan eksistensinya.

Haechan tidak dia temukan.

Pada setiap ruang yang memungkinan si anak juni itu bisa saja jatuh lemas sebab terlambat makan, Jaemin masih tidak mendapatinya. Ya, anggap saja ini hiperbola. Sebab kalau dipikir harusnya Haechan tidak akan kenapa-kenapa hanya perkara terlambat mengisi perutnya. Tapi ini Jaemin, kadang, dia sering bereaksi berlebihan pada sesuatu yang dia anggap berharga.

Mungkin, Haechan memang perlahan masuk jajaran seseorang yang berharga untuk Na Jaemin.

"Haechan," Panggilnya pelan. Alih-alih menemukan Haechan, justru gusar yang datang menyapa.

Di balkon kamar juga tak ada sosok yang jadi alasannya masuk di kamar ini.

"Haechan," 

Jaemin hanya dijawab suara jangkrik yang terdengar karena pintu balkon dibiarkannya terbuka. Dia masih kecarian dalam ruangan yang sama setelah tidak dia temukan apapun tanda di balkon kamar.

"Nggak mungkin kabur, kan?" Pintu balkon bahkan terkunci sebelum dibukanya beberapa detik yang lewat. Pun, tidak ada kain atau tali yang mengikat tiang teralis balkon sebagai alat bantu turun.

Gelisah menyerang. Jaemin kacau.

Ponsel dalam saku celana dirogoh kasar, jemarinya bergerak cepat mencari satu kontak.

"Cari Haechan sampe dapat. Cari dia dimanapun." Titahnya tanpa mau mengulur waktu sekedar menyapa seorang dari seberang telepon.

Napasnya memburu diikuti semrawut pikiran sebab Haechan yang hilang. 

Pun dari dalam kamar mandi juga tak terdengar gemericik air.

Meski begitu kakinya tetap mengarah pada pintu yang satu itu. Dia butuh kepastian akan pikirannya bahwa Haechan memang tidak ada di sana.

Tanpa ketukan, Jaemin buka tanpa beban.

"Jaemin? Kenapa?"

Sambutan Jaemin dapat. 

Dari sosok yang dicarinya beberapa menit belakangan.

Pun dari sebuah tanya yang baru saja mengudara, tidak ada reaksi kaget yang ditampilkan. Respon Haechan akan Jaemin yang masuk tanpa permisi seolah sudah ditunggunya. Senyum manisnya juga dia pamerkan sebagai pendamping raut tanya di wajah.

Si tampan itu baru masuk satu langkah membelakangi pintu. Pikirannya hilang turut bergabung saliva yang ditelan paksa hingga lekumnya bergerak kentara.

Atensi Jaemin tercuri.

Haechan. Berendam. Bathtub.

"Jaem?"

When the day comes | NAHYUCK (ON HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang