⚠Peringatan adegan kekerasan
_________________________Arson keluar dari ruangan psikolog setelah selesai dari sesi konsultasinya. Pikirannya sedikit ringan setelah tadi dia berdiskusi tentang banyak hal pada dokter kejiwaan itu, semuanya terasa mudah dan jelas sekarang. Langkah Arson membawanya menuju pada Fino yang menunggui dia sedari tadi.
"Gimana?" tanya Fino memulai.
"Aman. Dokter bilang itu cuma perasaan lelah yang wajar, ke depannya gua harus banyak terbuka lagi," Arson menjelaskan.
Fino mengangguk. Melangkahkan kaki masuk ke dalam mobil beriringan dengan Arson yang mengikuti.
"Bokapnya Devon udah ada di gua," Fino membuka suaranya sambil menjalankan mobil.
Arson menoleh cepat, melihat Fino dengan tatapan takjub. "Kok bisa?" tanyanya heran.
Fino hanya mengangkat bahunya acuh. "Mau lu gimanain?"
"Pergi ke sana sekarang, bang."
"Lu mau langsung kasih dia pelajaran?" Fino bertanya.
Arson mengangguk. "Iya. Gua udah liat rekaman CCTV yang lu kasih" Arson menjeda ucapannya, mengalihkan pandangannya kembali lurus menghadap ke depan. "Dia itu bajingan, gatel banget tangan gua mau cepet lakuin hal yang sama ke dia. Ayah mana yang bakal mukulin anaknya sampe anaknya trauma kayak gitu? Kelakuannya lebih pantes disebut binatang daripada manusia," kata Arson dengan emosi yang terdengar jelas.
Fino hanya diam saja, tidak menanggapi atau berkomentar apapun. Dia fokus menyetir mobilnya menuju ke tempat di mana dia membawa Ayahnya Devon kemarin. Perjalanan terasa panjang meski sebenarnya tak terlalu jauh. Dalam mobil, suasana jadi tegang. Pikiran Arson melayang-layang pada semua yang terjadi.
Mereka sampai di sebuah bangunan tua yang asing bagi Arson. Fino memarkir mobilnya dengan teliti.
"Turun" kata Fino singkat. Kemudian turun dari mobil dan berjalan lebih dulu. Membiarkan Arson mengikutinya di belakang.
Fino memimpin jalan sampai ke satu ruangan yang sepertinya berada di basement, membuka pintu berwarna kayu, dan melangkahkan kaki masuk ke dalamnya.
Arson sedari tadi hanya diam. Isi pikirannya penuh. Mengingat lagi perlakuan yang sudah Devon terima sampai memiliki trauma. Panas emosi mulai menjalar ke seluruh diri Arson ketika mengingat betapa takutnya Devon hanya untuk makan.
Pintu perlahan terbuka. Di sana terlihat sosok seorang pria yang masih menggunakan setelan jas lengkap terikat erat di sebuah kursi kayu.
"Lo bebas mau ngapain aja. Gak perlu nahan diri, biar gua yang urus sisanya" bisik Fino pada Arson
Pria itu adalah Ayahnya Devon. Ketika melihat Arson dan Fino, dia mulai meronta. "Mau apa kalian? Lepaskan saya! Saya tidak pernah punya masalah dengan berandal jalanan seperti kalian" jeritnya kencang, tapi percuma saja karena tidak akan ada yang bisa mendengar suaranya di dalam ruangan kecil itu.
Arson langsung berjalan mendekat, menatap pria itu dengan mata penuh kemarahan. Satu pukulan mendarat kencang pada pipi pria tua itu. Pukulannya sangat kencang sampai membuat memar yang terlihat kontras. "Lu tahu gak? Devon masuk rumah sakit gara-gara lu," katanya dingin.
Setelah itu, Arson memukulinya dengan membabi buta, tanpa perduli pada efek yang akan ditimbulkan dari kelakuannya. Pukulan, tendangan, semuanya Arson lakukan sama persis seperti dalam rekaman CCTV yang Fino beri. Arson benar-benar tidak menahan diri. Dia melakukan seperti apa yang pria ini lakukan pada Devon, bahkan jauh lebih keras.
Mengabaikan darah lebam yang menghiasi seluruh wajah pria itu, Arson tidak peduli pria ini sudah berumur matang atau terlihat sudah hampir pingsan. Yang ada di dalam kepalanya hanya Devon dan janjinya yang akan membalas perbuatan orang yang sudah membuat Devon sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Innocence [END]
Teen FictionSinister Series : 2 Sebelum membaca cerita ini, disarankan untuk melihat bio di profil lebih dulu!! Devon Abimana, ketua dari geng Alter, bertemu dengan Arson Juliard, yang merupakan anggota geng musuh. Arson yang saat itu tergerak membantu Devon me...