18. Hamil?

257 26 2
                                    



Beberapa hari setelah kejadian itu, segalanya kembali seperti semula. Jeno sibuk dengan tugas kuliahnya, sementara Jaemin mulai fokus pada pekerjaannya di perusahaan. Namun, tidak ada yang tahu bahwa di balik rutinitas itu, Jeno menyimpan kegelisahan yang semakin hari semakin mengganggunya.

“Kenapa tubuhku terasa aneh, ya?” gumam Jeno sambil menatap cermin di toilet kampus. Perutnya sering kram, tubuhnya mudah lelah, dan akhir-akhir ini ia merasa mual setiap pagi. “Apa ini gara-gara aku dan Jaemin waktu itu?” pikirnya, tapi ia buru-buru menggelengkan kepala, berusaha menyangkal pikiran itu.

“Jen, ngapain lo di sini? Kelas udah mau mulai!” suara Haechan tiba-tiba memecah lamunannya.

“Buset, Chan! Jangan tiba-tiba muncul, kaget gue!” ujar Jeno sambil mengelus dadanya.

“Yah, sorry-sorry. Yuk ke kelas!” ajak Haechan, tapi matanya memperhatikan Jeno dengan cermat. “Eh, lo kenapa, sih? Pucat banget.”

Jeno ragu sejenak, lalu memberanikan diri bertanya. “Chan, menurut lo, kalau orang sering kram perut sama mual-mual, itu kenapa, ya? Tapi gue nggak mau ke dokter. Takut disuntik.”

“Lo... ada apa-apa sama Jaemin?” tanya Haechan blak-blakan.

“Buset! Ngomong dijaga dikit, napa?” Jeno langsung menginjak kaki Haechan, membuat cowok itu meringis kesakitan.

“Sialan, sakit, Jen!” keluh Haechan, tapi kekesalannya segera berubah jadi khawatir ketika melihat Jeno memegangi perutnya sambil meringis.

“Chan... perut gue sakit banget...” lirih Jeno, air mata mulai menggenang di matanya.

Tanpa pikir panjang, Haechan langsung membawanya ke Unit Kesehatan Kampus (UKK). Setelah diperiksa, perawat menyarankan Jeno untuk segera ke dokter karena ada sesuatu yang tidak wajar. Tapi Jeno tetap keras kepala, menolak pergi.

Setelah keluar dari UKK, Jeno memaksa Haechan untuk mampir ke apotek. Anehnya, Jeno melarang Haechan ikut masuk. Beberapa menit kemudian, ia keluar dengan wajah gelisah dan menyuruh Haechan langsung pulang.

“Gue mau istirahat. Lo pulang aja,” ucap Jeno singkat sebelum menutup pintu rumahnya.

Setelah sendirian, Jeno bergegas ke toilet. Dengan tangan gemetar, ia membuka kotak testpack yang baru saja dibelinya. “Apa ini beneran?” bisiknya sambil menunggu hasilnya muncul.

Satu garis… lalu perlahan muncul garis kedua, meski samar. Jantungnya berdegup kencang. “Ini artinya gue hamil, kan?”

Ia terduduk di lantai, memegang perutnya. “Jaemin…” bisiknya, air matanya mulai jatuh. Ia tahu ini bukan hal yang mudah, tapi ia harus menghadapi kenyataan.

---

Di sisi lain, Jaemin tengah sibuk memikirkan masalah besar di perusahaannya. Penurunan drastis saham dan laporan keuangan yang kacau membuatnya kewalahan. Dalam keputusasaan, ia meminta bantuan ayahnya, meski ini sudah kesekian kalinya.

“Ini yang terakhir kali, Jaemin,” ujar ayahnya tegas. “Kalau kau terus bergantung padaku, kapan kau akan benar-benar dewasa?”

Jaemin hanya bisa mengangguk. “Aku mengerti, Ayah. Terima kasih.”

Namun, di tengah semua tekanan itu, Jaemin merasa ada yang mengganjal. Sudah beberapa hari Jeno tidak menghubunginya. Biasanya Jeno selalu mengirim pesan, meski hanya untuk menanyakan kabar.

“Kenapa Jeno nggak ada kabar?” pikirnya. Ia mencoba menelepon Jeno, tapi tidak diangkat.

---

Malam harinya, Jeno akhirnya memberanikan diri menelepon Jaemin. Dengan suara bergetar, ia berkata, “Jaemin, aku perlu bicara sama kamu. Ini penting.”

Jaemin langsung merasa ada sesuatu yang tidak beres. “Ada apa, Sayang? Kamu kenapa?”

“Bisa datang ke rumah? Aku nggak bisa ngomong di telepon.”

Tanpa berpikir dua kali, Jaemin bergegas menuju rumah Jeno. Begitu sampai, ia menemukan Jeno duduk di sofa dengan mata sembab.

“Jeno, ada apa? Kamu sakit?” Jaemin langsung menghampirinya.

Jeno menatap Jaemin dengan mata penuh emosi, lalu berkata pelan, “Aku hamil.”

Jaemin terdiam. Wajahnya berubah, antara terkejut dan bingung. “Kamu... serius?”

Jeno mengangguk. “Aku baru tahu tadi. Aku pakai testpack, dan hasilnya positif.”

Jaemin menarik napas panjang, lalu meraih tangan Jeno. “Kita akan hadapi ini bersama, oke? Aku tahu ini mendadak, tapi aku nggak akan meninggalkan kamu.”

Mendengar itu, Jeno mulai menangis lagi, kali ini karena lega. Di tengah segala kekacauan, ia merasa Jaemin adalah tempatnya berpijak.

to be continued

hai-hai aku up lagi nih, maaf ya aku gantung selama 2 bulan lebih. Aku lagi sibuk banget akhir-akhir ini insya allah aku double up nanti atau mungkin besok.

jangan lupa vote dan komen
jangan lupa follow akunku biar author semangat upnya




Silent Love| Jaemjen [ On Going ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang