bab 1

377 40 2
                                    

"Ini ditaruh di mana, Mbak?"

Setelah memindai sekiranya apa isi dari kardus tersebut, Wulan, memberikan isyarat agar barang-barang tersebut dibawa ke kamar yang sejak semalam ia tempati untuk mengistirahatkan diri.

Mulutnya masih tetap terkunci. Tidak ada suara yang ia keluarkan dan hembusan nafasnya keluar keras berkali-kali.

Seseorang, ajarkan padanya bagaimana cara menghilangkan sesak yang kian menghimpit dada selain diam seolah tak merasakan apa-apa?

Tapi mulutnya tetap bungkam enggan menyuarakan pertanyaan yang lebih tepatnya sebuah jeritan yang coba dia redam. Matanya berkelana, menjelajah setiap sisi rumah sederhana yang semalam belum sepenuhnya dia cermati seksama.

Rumah sederhana, kelewat sederhana yang bahkan dalam bayangannya tak pernah terlintas akan meninggalinya. Dia pikir, dia akan dibawa ke gubuk gedongan dengan gaya klasik atau rumah besar lainnya. Lalu tiba-tiba otaknya berteriak menyerukan kebodohannya. Siapa dia? Siapa dirinya hingga seseorang yang asing baginya membawanya ke rumah mewah seperti yang diperlihatkan ke si tua gila harta alih-alih gubuk kelewat sederhana ini?

"Masih untung ada yang menerimamu. Kamu itu jangan bodoh apalagi merealisasikan niatanmu untuk lari itu. Ada laki-laki yang kembali meminangmu setelah apa yang terjadi padamu, itu sudah syukur. Kamu itu dicap pembawa petaka. Hitung sekali lagi, berapa banyak laki-laki yang akhirnya mati setelah berniat memperistri."

Tapi memang benar, dia seberuntung itu. Terbebas dari belenggu keluarganya yang sejak dulu hanya menjadikannya samsak kekesalan, menudingnya, bahkan yang paling parah melabelinya dengan berbagai macam julukan kotor yang bahkan tak seharusnya pernah terpikirkan oleh orang yang dianggap sebagai keluarga.

Setidaknya dia merasa cukup aman di sini, meski dia tidak memiliki pandangan bagaimana hidupnya ke depan. Tapi yang pasti dia merasa lebih aman dan bebas dari berbagai tekanan.

Seperti semalam. Dia yang sama sekali yang tidak mengenal seorang pria yang bahkan itu kali pertama mereka bertemu muka, pria yang entah bagaimana bisa menjadikan dia sebagai istri di hadapan Datuknya, dan pria yang lantas membawanya pergi dari jeruji neraka yang selama ini menghimpitnya.

Menolak? Apa yang bisa dia lakukan. Dia seolah tak memiliki hak untuk hidupnya sendiri, semua sudah diatur sedemikian rupa oleh Datuk dan keluarganya. Sepertinya halnya dia hidup, namun tak memiliki kebebasan untuk hidup.

"Mbak, silahkan dimakan. Bapak bilang kalau mbak gak suka menunya, boleh minta yang lain."

Matanya mengerjap cepat, menelisik setiap makanan yang terhidang. Tidak banyak, namun membuatnya sangat terharu karena untuk kali pertama, kecuali di hari raya, dia disuguhkan beraneka makanan, dan apa tadi dia boleh minta ganti kalau tidak suka makanan yang tersaji?

Oh ya Tuhan, orang waras mana yang memprotes makanan yang sudah dihidangkan.

"Terimakasih...bibi?" ucapnya meragu pada akhir kalimatnya.

Semalam, dia mendengar pria itu memanggil wanita yang kini menyunggingkan senyum senang ke arahnya dengan panggilan bibi.

"Mbak Wulan mau nambah gak?"

Sambil menahan haru yang kian menyeruak di dalam kalbu, Wulan menggeleng lalu mengangguk cepat dengan tangan mencoba menahan. "Nanti, ka-kalau aku ingin menambah, biar ambil sendiri," ujarnya pada akhirnya sebelum bibi tersebut pergi.

Tersisa hanya dia sendiri. Ditinggalkan menikmati hidangan dengan cita rasa yang begitu menggugah seleranya. Tidak ada lagi cincangan daun kacang yang hanya dibumbui garam, atau kepala ikan yang hanya menyisakan mata juga kulit sebagai pendamping lauk makan.

Retas dalam HempasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang