empat belas

193 34 4
                                    


Empat belas

Ditemani secangkir kopi yang bahkan uapnya tak nampak lagi, Kirana tetap diam termenung menatap pekatnya malam yang kini samar-samar memperlihatkan bintang. Tadi, pikirannya mencoba mengalihkan dengan keadaan bintang yang begitu malu-malu menampakkan diri. Mungkin efek polusi yang menutupi keindahannya, atau mungkin karena mendung yang itu terdengar amat mustahil. Kirana seolah mengalihkan pikirannya sendiri saat kekecewaan perlahan menggelayuti hati.

Sudah seminggu sejak dia melihat Rudi saat itu, membeli sebuah benda yang berartikan besar untuk sebuah hubungan, namun hingga sekarang tak kunjung ia temui kepastian. Jangankan pernyataan yang diharapkan, bertukar kabar pun tak mereka lakukan. Seolah jarak luas membentang menjelaskan jika itu semua hanya harapan semunya.

Rudi begitu membingungkan. Sejak awal bahkan. Oh, ada kalanya pria itu bersikap seolah tertarik juga padanya, tapi itu sudah lama. Tidak seperti sekarang yang mana pria itu memberikan sinyal menghindar meski memang komunikasi mereka tidak selancar yang bisa diungkapkan. Hanya saja, ia meyakini jika Rudi--sekarang ini-- tengah menghindar. Seolah menutup akses untuk hubungan mereka yang bahkan belum bisa dikatakan sebuah hubungan. Semua tentang Rudi begitu ambigu dijelaskan segara gamblang.

"Apa ucapan Gendhis benar? Apa sikap yang ditunjukkan merupakan sinyal jika mas Rudi enggan melanjutkan hubungan?"

Suara decakan terdengar. Kirana enggan menoleh sebenarnya, hanya saja keberadaan lelaki yang tempatnya kini ia tempati tak bisa ia abaikan begitu saja. Pun, jikapun disadarkan, dialah yang mengganggu waktu si lelaki yang sibuk berhadapan dengan layar di depannya.

"Lo itu tinggal tanya langsung ke doi, Ran. Timbang lo bingung kek sekarang, mending langsung konfirmasi kenapa sih?"

Bukannya apa, sejak satu jam lalu bahkan kopi buatannya permintaan si perempuan yang mengaku masih galau itu dingin, hanya helaan napas pasrah nan lelah yang terdengar. Dia tengah dikejar deadline, namun untuk mengusir secara terang-terangan sukar direalisasikan. Apalagi wajah melas nan lesu yang Kirana tunjukkan.

"Timbang ngomong sih enak, Bar. Tapi harga diri gue lah, Bro!" sergah Kirana cepat membalik kursi menghadap lelaki yang kini tengah meregangkan leher ke kanan dan kiri.

"Halah, mamam tuh harga diri. Daripada lo dibuat bingung gak jelas. Udahlah ngarep banget itu cowok beliin cincin buat lo. Tapi apa kenyatannya? Sudah seminggu terlewat itu cincin juga gak nongol wujudnya. Jangankan wujud, Ran, orangnya aja hubungi lo enggak ada!"

Dipaparkan kenyataan pahit namun benar membuat Kirana merengut kesal. Tak ada yang salah kan, dengan harapannya itu? Siapa yang tak berharap bila melihat pria yang dekat dengannya terlihat membeli cincin? Pasti lah besar harapan cincin itu diberikan kepadanya.

"Kek itu cincin buat lo aja, Ran. Kalau itu benda buat cewek lain gimana? Lo nangis lah tuh gigit jari di pojokan!"

Sesaat kemudian lemparan bantal mengenai kepala si lelaki sebelum dengan hembusan napas panjang tangannya menjauhkan benda tersebut dari jangkauan Kirana sebelum nantinya akan kembali menjadi samsak kekesalan Kirana.

"Mulut lo, Bar!" seru Kirana tak terima, hampir perempuan itu menangis membayangkan bila ucapan sang kawan ada benarnya.

Dmitri Akbar, lelaki berperawakan tinggi dengan garis rahang tegas namun lembut di waktu bersamaan mendekati Kirana yang kini menelungkupkan kepala. Meminum seteguk kopi dingin yang dianggurkan Kirana sebelum duduk di samping kiri si perempuan.

"Lo itu kadung suka sama itu cowok apa gimana deh, Ran? Gak biasanya lo gini, deh," ungkapnya jujur sembari membandingkan perilaku Kirana yang sekarang dengan cara si perempuan menghadapi para lelaki yang dikenalkan padanya sebelumnya. "Gue jadi penasaran, kek apasih ini cowok sampai bikin lo yang pemilih ini jadi sulit ngasih ketegasan," monolognya pelan mengambil buku yang sebelumnya dibaca --meski itupun diragukan kebenarannya-- oleh Kirana.

Retas dalam HempasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang