bab tiga

249 38 8
                                    


Terhitung sudah tiga hari lamanya Wulan meninggalkan tempat asalnya. Tempat yang lebih dominan meninggalkan banyak luka dari pada kenangan indahnya. Tempat bagaikan surga untuk berwisata dan neraka untuk sebagian warganya. Miris memang. Keluarganya yang memiliki kuasa penuh akan keputusan di desa kecilnya, menjadi rujukan untuk setiap permasalahan para warga, pun menjadi yang paling dihormati di sana.

Tapi apa adanya, bukannya bersikap bijak mereka semakin semena-mena memperlakukan orang-orang yang dianggap tak berdaya. Hanya mengandalkan upah dari bayaran setelah bekerja di tanah milik keluarganya, belum juga pikiran mereka yang terdoktrin mematuhi dan menyanjung tinggi keluarganya.

Kadang Wulan merasa beruntung terlahir dari keluarga se terhormat itu. Namun itu hanya sebagian kecil saja. Didominasi perasaan ia ingin terlahir dari keluarga lain yang memiliki pemikiran juga pandangan yang lebih terbuka tentang perkembangan dunia. Tapi apa daya, bukan kuasanya bisa memilih lahir di keluarga mana, bukan kuasanya juga memiliki orangtua seperti apa.

Dan kehadirannya, yang dinantikan, diharapkan sebagai perwujudan seorang pria lalu kenyataannya dia terlahir sebagai seorang wanita, memperparah perlakuan tak berakal mereka, termasuk ibunya.

Wulan tahu, mungkin ibunya terlalu ditekan karena melahirkan seorang anak perempuan di saat ibunya ditekan harus melahirkan anak lelaki sebagai penerus keluarga ini. Tapi apa daya, ibunya yang turut kecewa terhadap keadaan tak ubahnya sama memperlakukannya.

Dia dijadikan pelayan di rumah keluarganya sendiri, dengan dalih dia harus melayani sebagai hukuman atas apa yang tidak bisa dikehendaki.

Belum lagi stigma buruk persoalan dirinya yang dianggap sebagai kutukan bagi pria yang hendak menikahinya. Untuk satu hal ini memang benar, dia sering bertanya-tanya. Mengapa setiap pria yang sudah melangsungkan pertunangan dengannya akan berakhir meninggal dunia dengan kondisi berupa macam menjemput ajal?

Wulan menatap bunga mawar dengan mata bergetar. Meniti cantik sang rupa mawar namun memiliki duri tajam sebagai bentuk perlindungan.

Tapi dia bukan sang mawar. Dia adalah Wulan yang hingga akhirnya dituding jelmaan karena sejak dulu tidak pernah membawa keberuntungan, baik untuk keluarga maupun orang yang sudah meminang.

"Padahal, kehadiran mas Janu kemaren itu seolah memberikan gambaran kalau kutukan itu tidak benar," gumamnya pelan kembali mengingat pria malang yang terjun bebas ke sungai saat hendak menyambanginya.

Wulan masih tetap saja memandangi kecantikan mawar merah yang seolah menunjukkan keindahan pada dunia. Lambang cinta bagi setiap pasangan yang tengah merasakannya. Perlahan, jemarinya menyentuh kelopak sang bunga sebelum mengambilnya dengan sebisa mungkin menghindari tusukan duri yang melindunginya.

Mudah sebenarnya. Namun juga tempat menakutkan bagi siapa saja yang sudah takut tertusuk durinya.

Wulan menyadari, ini seperti yang dilakukan suaminya, oh, bolehkah dia menyebutnya?

Entah siapa pria ini hingga bisa dengan mudah membawanya pergi. Terhindar dari kematian menyeramkan yang sudah tiga orang alami sebelumnya setelah mengikatnya. Apa karena pria yang menjadi suaminya kini terlalu cepat mengikatnya tidak seperti sebelumnya yang diputuskan jauh-jauh hari?

Oh, dia melewatkan sesuatu juga. Wulan bahkan tidak mengetahui akan diperistri pada hari itu, lantas dibawa pergi dari tempat neraka berbalut surga, dan akhirnya menempati tempat ini.

Dan sepanjang perjalanan, tidak ada satupun keanehan ataupun gangguan. Semuanya lancar. Tidak seperti saat ia dan Janu pertama kali bepergian saat pria itu memintanya mengitari desa sekitar.

Perasaan diikuti, diawasi sangat kentara. Begitupun dua orang sebelumnya. Tragis, mereka mengalami kematian mengerikan karenanya.

Lalu...masalah yang menyebabkan ini semua apakah dirinya?

Retas dalam HempasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang