enam belas

200 35 3
                                    

Enam belas



"Hem?"

Wulan menggumam. Mendengar panggilan yang ditujukan padanya, sesaat Wulan mengalihkan perhatiannya pada penggaris skala yang sejak tadi ia amati. Dilihatnya senyum teduh Rudi yang dilemparkan untuknya.

"Kamu gak makan?"

Wulan tersenyum melihat buah-buahan yang sudah dipotong yang bisa dipastikan pria itu yang mengerjakannya sebelum memberikan respon gelengan kepala.

"Masih kenyang. Mas lapar?"

Menggeser duduk ke sisi kiri membiarkan Rudi menempati space yang ia beri. Menerima dengan senang suapan yang pria itu tujukan ke mulutnya. Dengan membalas senyum yang masih senantiasa Rudi perlihatkan, Wulan bergantian menyuapi pria itu meski dengan senyum malu-malu.

"Mas lapar?" Mengulangi pertanyaannya yang belum juga dikonfirmasi pria yang lebih dominan menyuapinya.

"Masih bisa ditahan. Ini dihabiskan dulu."

Dengan cepat Wulan mengunyah buah di mulutnya enggan membuat Rudi menahan lapar karenanya. Bi Murti tak ada di rumah, pun ia kira Rudi sudah makan di luar karena pria itu pulang cukup malam.

"Sudah. Ayo makan!" ajaknya lembut membawa piring yang isinya sudah berpindah tempat ke perutnya. Menerima gandengan tangan Rudi yang sesekali mengapit lengannya ke ketiak pria itu meski protes telah ia ajukan namun tak diindahkan.

"Aku pikir mas sudah makan di luar. Jadi aku lanjut belajar." Mengatakannya sembari menyiapkan makanan yang meski sudah pria itu tolak sebelumnya. Tak apa, Wulan tak pernah merasa keberatan melayani pria yang begitu berjasa di hidupnya. Apalagi hanya menyiapkan makan malam sekaligus menemaninya makan. Dengan senang hati ia lakukan. Toh, itu tak sebanding dengan dengan yang sudah Rudi berikan untuknya.

"Masih lapar. Tadi hanya makan sedikit," jawab Rudi jujur sebelum berdoa dan memulai makannya.

Tanpa mengganggu kekhidmatan Rudi makan, Wulan kembali menekuri buku panduan yang sejak tadi dibacanya. Sesekali melihat penggaris skala, menganggukkan kepala paham, lalu memberikan tanda juga catatan kecil di sana.

Semua tertangkap pengamatan Rudi yang memperhatikan keuletan Wulan dalam belajar. Perempuan itu membuktikan jika perempuan itu serius menekuni apa yang sudah dia pilih.

Sebenarnya, sebelumnya dia ingin merekomendasikan Wulan untuk melanjutkan pendidikannya. Terlebih apa yang dia ketahui, perempuan itu dulu terkendala biaya hingga harus mengubur dalam mimpinya. Rudi pikir, kini saatnya perempuan itu memulai menggapai mimpinya. Namun, saat perempuan itu sudah memilih apa yang ditekuni, sudah barang pasti dia mendukungnya. Masalah materi tak ia beratkan, toh jika Wulan bisa mengasah kemampuan dan memiliki keahlian itu sudah membanggakan.

"Lagi belajar apa? Aku lihat sejak tadi serius banget bacanya." Ia sudah menyelesaikan makannya. Sudah pula membereskan juga mencucinya. Kembali membawa potongan buah ke hadapan Wulan.

Wulan mengisyaratkan untuk menunggu sebentar sebelum mencatat kesimpulan. "Cara menentukan pattern. Aku pakai ini." Memperlihatkan penggaris skala berwarna merah muda yang sudah ia lapisi lakban bening ke arah Rudi yang mengerutkan dahi.

"Ini buat mengukur?" Memperlihatkan kerutan di dahi, kebingungan.

Kekehan terdengar, Wulan pelakunya. Perempuan itu menggeleng tak habis pikir pada Rudi yang begitu polos ketika bertanya padanya.

"Ya enggak. Ini buat ngukur di kertas dorslag. Nanti ditempel ke buku ini," jelasnya sembari memperlihatkan kertas tipis berwarna pink, biru, juga kuning, lalu menunjuk hardback dimana ada beberapa bentuk pola yang tertempel di sana.

Retas dalam HempasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang