delapan

218 33 3
                                    


Satu hal yang Wulan yakini dalam hidupnya selama ini yang membuatnya mantap terus untuk hidup. Akan ada kebahagiaan yang dikabulkan dari doa-doa yang dipanjatkan. Wulan pernah skeptis saat semua doa yang sudah dia langitkan belum juga menemukan secercah harapan akan datang. Semua yang terjadi seolah kebalikan apa yang diharapkan. Wulan pernah berada pada fase lelah berdoa, menganggap semuanya sia-sia dan kondisinya akan tetap sama.

Namun pada suatu siang yang begitu terik membakar kulit, pada mata yang terlihat begitu silau menatap jauh ke depan, di saat itu pula dia seperti di sadarkan.

Bertemu dengan orang asing yang saat itu bahkan menenggak air di sungai yang mengalir. Menggunakan tangan untuk mencakup air sebelum dimasukkan ke dalam mulut mengusir dahaga yang mungkin saat itu teramat dirasa.

Orang asing tersebut enggan menerima air yang sudah dia sodorkan, beranggapan miliknya jauh lebih layak dinikmati sebagai minuman alih-alih air sungai yang meski mengalir deras, tetap saja itu belum dibersihkan.

"Air sungai ini suci dan mensucikan. Rasanya juga menyegarkan. Kenapa aku mesti takut meminumnya?" Orang asing itu berujar setelah Wulan menutup kembali botol yang tadi ditawarkan.

"Tapi itu belum direbus," timpalnya pelan kemudian mengambil duduk tak jauh dari orang asing tersebut.

"Memang benar. Tapi coba kamu lihat airnya, bening kan? Orang-orang juga selain menggunakan sungai sebagai aliran irigasi, mencuci, juga buat kebutuhan sehari-hari seperti minum dan makan. Apa bedanya dengan yang aku lakukan?"

Wulan sekali lagi melihat pada aliran jernih air sungai yang beberapa kali menangkap membawa patahan ranting.

"Air sungai ini ibarat kenikmatan, dirasakan tergantung bagaimana manusia membutuhkan. Semua sesuai takaran, dan bagaimana pandanganmu tentang air ini yang mentah masih terkontaminasi mungkin, itu benar. Tapi untuk orang yang menganggap air ini bersih dan tidak berbahaya pun benar juga."

Wulan terdiam, masih belum mengerti kemana arah orang ini berbicara. Dia semakin mengerutkan dahinya saat orang tersebut tersenyum menatapnya. Gelenyar ketakutan merangsek membuat tubuhnya perlahan bergetar. Wulan yakin, dia belum pernah bertemu orang asing ini, salahnya juga kenapa tidak memilih atau membiarkan apa yang orang itu lakukan alih-alih menawarkan dan kini berbincang dengan tak tentu arah.

"Kamu pasti mengira air yang benar-benar layak diminum setelah melalui proses perebusan terlebih dahulu." Wulan diam membenarkan tidak menyela barang menyanggahnya. "Tidak salah memang, tapi ada kalanya kamu harus merasakan kemurnian air asli ini, tanpa melalui perebusan sebelumnya. Biar kamu bisa membedakan dampak apa yang terjadi setelahnya. Apakah kamu akan sakit seperti yang kamu takutkan, atau kamu akan seperti biasanya. Tidak terjadi apa-apa dan ketakutan itu hanya ada di kepalamu saja."

Wulan mengikuti bagaimana orang asing ini tadi mengambil minum di sungai. Meski ragu, dia tetap meminumnya. Matanya terpejam sesaat sebelum kembali terbuka dan menatap orang asing yang juga tengah menatapnya.

"Tidak ada bedanya, kan?"

"Iya," ucapnya membenarkan. Pun pikirannya berpikir ini terlalu konyol. Bukankah rasa air ya seperti ini? Kecuali mungkin air laut yang cenderung asin, atau air yang sudah diberi pemanis lainnya.

"Terkadang, sudut pandang kita lah yang mempersempit kenikmatan yang kita dapatkan. Lihat, air sungai ini begitu banyak membawa dampak kebaikan untuk semua orang, bukan masalah seperti yang kamu takutkan padahal hanya meminum beberapa tegukan. Bisa jadi, air yang kamu anggap kotor ini menjadi sebuah kenikmatan terbesar bagi seseorang yang saat itu benar-benar kehausan. Melihat air berlimpah ruah seperti ini, adalah kenikmatan tak tertandingi yang saat itu orang itu butuhkan." Bahkan untuk mencernanya saja Wulan masih belum memahami sepenuhnya. Antara orang asing ini terlalu tersirat menyampaikan, atau dia yang terlalu bodoh untuk memahaminya.

Retas dalam HempasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang