sembilan belas

196 35 6
                                    

Sembilan belas


Tiga sahabat...

Kata itu masih juga menggentayangi benak Wulan meski sudah berusaha disingkirkan. Pikirnya bertanya-tanya, mengapa setelah diberikan pertanyaan tersebut riak di wajah Vera teramat berubah, pun tatapannya lantas menyongsongnya terang-terangan. Sayangnya, tak ada sepatah kata yang perempuan itu keluarkan sebelum dengan lewat isyarat tatapan mata meminta Wisnu juga Rudi mengikutinya ke ruang belakang.

"Jadi biasanya kamu yang memasak?"

Pertanyaan itu mengembalikan fokusnya yang kini tengah berkutat dengan masakan bersama Leo, yang lebih dulu menawarkan untuk memasak bersama sedangkan ketiga orang yang ke ruang belakang menyelesaikan urusan mereka yang kemungkinan besar menyangkut dirinya.

"Iya. Karena semua sepupuku laki-laki jadi ya aku semua," jawab Wulan pelan. Melihat lihainya gerakan Leo saat memasak sesaat membuatnya tertegun di tempat. Sejak menginjakkan kaki disini, dia melihat banyak perbedaan yang keluarganya terapkan dengan kenyataan di luar. Keluarga Rudi tepatnya. Benar, dia tidak memukul rata orang-orang seperti keluarganya, hanya saja melihat seorang pria berkutat dengan alat masak juga lihai memasukkan berbagai macam bumbunya, tentu pandangan yang tak lazim buatnya. Jangankan menyentuh, keluarganya yang laki-laki saja seolah enggan menginjakkan kaki ke tempat tersebut. Dapur.

"Ada perbedaan gitu, ya?" Dengan cekatan lelaki itu membelah beberapa bagian tempe hingga tipis pipih yang akan mereka laburi tepung, mendoan.

"Iya. Karena disana yang laki-laki tugasnya ya bekerja. Sedangkan para perempuan yang biasanya mengurus ladang."

Leo berhenti sejenak, seperti ada keanehan dari kalimat yang Wulan paparkan. "Maksudnya kamu memasak sendirian?" tanyanya terperangah, tambah tak bisa berkata-kata tat kala anggukan Wulan berikan. "Untuk berapa orang itu?"

"Untuk tiga keluarga. Tapi karena sepupuku beberapa ada yang melanjutkan pendidikan juga bekerja di luar kota jadi ya tinggal para orangtua biasanya. Mas Leo terbiasa memasak?" jelasnya singkat sebelum mengalihkan pembicaraan agar Leo tak mengulik lebih jauh keluarganya. Cukup Rudi yang mengetahui segalanya. Dia tak ingin mendapatkan tatapan penuh kasihan untuk hidupnya yang cukup menyakitkan.

Leo mengernyit sesaat, sebelum tersenyum maklum dan memberikan jawaban. "Sebenarnya jarang. Cuma biasanya kalau ada acara kumpul-kumpul gitu yang masak kami para lelaki, sedangkan ibu-ibu biasanya memilih ngerumpi." Tawa keduanya menguar ke udara.

"Kok bisa?" tanya Wulan heran usai meredakan tawanya.

"Ya bisa. Dulu ayah, ayah mertua, yang membuat peraturan ini. Biasanya ayah, aku, juga Rudi akan masak sedangkan ibu dan Vera ngerumpi sambil berkomentar. Kebiasaan jadinya," jelasnya dengan senyum mengembang.

Bisa Wulan lihat, binar kebanggaan yang melekat di mata Leo saat bercerita mengenai mertuanya.

Oh, mungkin mertuanya juga...

"Mas Rudi bisa masak, dong?" Sembari membalik mendoan. Tangannya cekatan memilih cabai rawit yang niatnya akan ditambahkan ke saus cocolan.

"Loh, belum pernah nyobain masakan Rudi berarti?"

Wulan menggeleng pelan. Selama ini memang dia atau bi Murti yang memasak, pun kalau malas Rudi akan berinisiatif membelinya sendiri.

"Syukurlah. Sadar diri berarti dia."

Wulan mengernyit heran. Begitu kentara jika Leo tengah meremehkan hasil masakan suaminya.

"Dia memang kompeten di sawah, ladang, pemilihan bibit unggul, bahkan metode baru di pertanian. Tapi, disuruh bedain ketumbar sama merica aja keliru terusan. Heran kan?"

Retas dalam HempasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang