bab Dua

259 37 2
                                    


"Jadi murni kecelakaan gitu?"

"Baru asumsiku sih, Rud. Masalahnya ketiga saksi yang dihadirkan juga menyatakan pernyataan serupa, bahkan beberapa warga lokal sana mengatakan jika itu tempat memang rawan kecelakaan. Itu kan tikungan, dan tajam kan. Bisa jadi saat itu dia gak menguasai kondisi medan akhirnya kaget dan ya..." jelasnya tanpa menyebutkan bagaimana kendaraan yang dikendarai Janu meluncur bebas ke dasar sungai yang kebetulan saat itu pembatasnya belum diperbaiki karena terjadi insiden kecelakaan pada truk pengangkut pasir. Jadi, pagar di area itu hanya dibatasi dengan tali yang melintang horizontal.

"Tapi herannya ini akses jalan utama menuju kabupaten sebelah ya. Ini pemerintah gak ada inisiatif buat jalan lebih safety apa gimana?"

Membaca berkas laporan yang Satria berikan, beberapa keterangan jika sebelum Janu mengalami kecelakaan di area tikungan itu, terlebih dahulu truk pengangkut pasir terperosok ke sungai. Menyebabkan pagar yang dibangun warga jebol. Dan Janu tat kala melintasi area tersebut dengan kondisi hujan gerimis yang memungkinkan jalanan licin dan mudah terpeleset.

Masuk akal.

Pasalnya, selama penyelidikan kasus kecelakaan yang menimpa sang kawan, prasangkanya selalu mengatakan jika ini ada ulah campur tangan tetua desa yang dulu pernah berupaya melenyapkan Janu dari dunia. Bodohnya Janu setelah bebas dan lari jauh dari mereka, lelaki yang begitu manut pada keluarganya dengan alasan bakti yang tersisa merelakan hidupnya untuk diatur dalam perjodohan konyol tak masuk di akal sehatnya. Itu menurutnya.

"Gue nerima karena ada alasan kali, Rud. Lo tahu, perempuan yang dijodohkan ke gue itu gak begitu jauh kondisinya sama gue yang dulu. Jadi, sebisa mungkin gue bantu dia untuk bebas dari jerat Datuk itu. Orangtua gue aja patuh banget ke si tua itu, apalagi ini cucunya. Yang lo harus tahu, cucu perempuan disitu diperlakukan layaknya budak, Rud. Beda kalau cucu laki dipuja-puja kek raja. Sakit emang itu kampung," seloroh panjang Janu kembali menceritakan kehidupan yang sama sekali tak pernah terlintas di pikiran Rudi sebelum bertemu dengan sang kawannya ini.

"Beruntung Bokap lo cepetan sadar ada yang gak beres sama itu kampung, Nu." Mengingat kembali kemustahilan untuk seorang Wisnu Hartawan memilih tambatan hati pada gadis desa yang begitu jauh dari gemerlap kota.

Benar, desa itu menyuguhkan panorama menakjubkan bagi siapa yang mengunjunginya. Dua kali bertandang ke sana tak ayal ia mengakui keindahan yang ditawarkan. Tapi hanya sekedar itu. Penduduk sudah pasti menunjukkan sikap ramah pada pengunjung untuk berlangsungnya pariwisata mereka. Namun untuk menetap dan menjadi bagian dari mereka? Rudi memberikan opsi untuk tidak melakukannya.

Seperti yang dijabarkan Janu sebelum pergi pamitan menemui sang tunangan namun berujung kematian, dengan kedua matanya sendiri, dia melihat bagaimana perempuan ayu dengan tatapan kosong itu mendapatkan tamparan kuat di pipi setelah semua orang pergi dari pusara sang teman. Perempuan yang sepertinya belum mempercayai apa yang tengah terjadi itu mendapatkan tendangan pula di tubuhnya dan yang lebih membuatnya tercengang tak ada satupun perlawanan.

Perempuan itu hanya diam persis seperti yang dulu pernah Janu ceritakan. Diam dan menahan semua dan tidak menunjukkan kesakitan bila tidak ingin ditambahkan.

Miris...

Hidup dengan keluarga harmonis yang selalu berlaku manis pada perempuan mengingat jasa mereka dalam kehidupan membuatnya berpikir panjang selama perjalanan.

Kini dia tahu, mengapa Janu rela menerima permintaan sang ibu untuk menikahi perempuan itu. Benar, niat sang kawan yang ingin menyelamatkan seseorang, seperti dulu saat dia meminta pertolongan dan akhirnya sang ayah membawanya keluar.

Retas dalam HempasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang