15

58 4 0
                                    

"Raver!"

"Raver!"

"Kau ga apa-apa, Nak?"

Aku melenguh nyeri saat membuka mata. Kepala ku berdenyut hebat. Mata ku mengerjap menyesuaikan cahaya yang ada.

"Ugh. Sakit." Aku memegang kepala ku yang berdenyut tak karuan. Rasanya seperti dihantam ribuan beton. Tiba-tiba aku teringat sesuatu.

"Kak Nuzka!" Aku berseru mencari seseorang. Bunda dan Ayah saling pandang bingung. "Siapa Nuzka?" Tanya mereka. Aku mengerjap bingung. Bukankah Kak Nuzka baru saja tiada? Apakah secepat itu melupakannya?

"Kalian lupa siapa Kak Nuzka? Dia anak kalian! Oh, aku harap itu hanya mimpi! Kak Nuzka, aku ingat Kak Nuzka ditabrak mobik dengan kecepatan tinggi!" Aku hendak beranjak untuk mencari Kak Nuzka tapi ditahan oleh Ayah.

"Ayah! Jangan tahan aku!" Protes ku.

"Nuzka siapa? Sepertinya kau melantur sehabis bangun dari koma." Jawab Ayah menjawab segala rasa ketakutan ku.

"A-apa?" Bahu ku merosot seperti ditarik ke dasar lubang palung mariana. "Sepertinya benar kau sedang melantur, Raver." Bunda menatap tajam menyuruh ku untuk kembali kembali beristirahat.

"K-Koma? Bagaimana bisa?" Pandangan ku serasa kosong. Benar-benar kosong.

"Kau baru saja koma sehabis kecelakaan akibat belajar naik sepeda. Jangan aneh-aneh. Kau harus istirahat agar bisa mengikuti wisuda. Bukan kah kau begitu antusian buat masuk SMP?" Jelas Bunda. Aku mengusap kepala ku yang tertutup perban. Apa maksudnya ini?

"Bukannya aku sudah lulus SMA?" Tanya ku. Aku tidak bisa membedakan antara mimpi dan kenyataan sekarang. Ayah dan Bunda tertawa mendengar ku yang terdengar melantur ditelinga mereka.

"Hahaha, kau ini! Kau masih baru lulus kelas 6 SD! Bagaimana bisa kau sudah SMA? Lihat tubuh mu! Masih begitu kecil. Umur mu saja baru masuk 12 tahun. Aneh-aneh aja. Sudah, istirahat lah, biar Ayah panggil dokter dulu." Ayah terkekeh sembari mengusak rambut ku sayang. Aneh.

Seorang Dokter datang untuk memeriksa ku. Dokter tersebut mengangguk lalu mengatakan bahwa keadaan ku sudah membaik.

"Dok," Panggil ku. Dokter tersebut berbalik badan melihat ku sembari tersenyum.

"Ya?"

"Sa-saya, saya merasa tidak bisa membedakan mana mimpi dan kenyataan. Jika memang mimpi, aku kenapa terasa begitu nyata?" Tanya ku. Aku menundukkan kepala ku. Rasanya ada yang begitu sakit dalam hati ku saat mengingatnya.

Dokter tersebut menjewer pipi gembul ku. Aku mengaduh kesakitan karenanya.

"Jadi, sekarang sudah membedakan, kan?" Tanya Dokter tersebut. Aku mengangguk pelan saat sudah sadar sepenuhnya.

"Makasih, Dok," ucap ku. Dokter tersebut mengangguk lalu pergi dari ruangan ku. Percayalah, aku merasa begitu aneh juga sedih saat ini.

Sedih, saat tau bahwa tenyata Kak Nuzka ternyata hanya berada di dalam mimpi ku.

Dan aneh kenapa mimpi ku terasa begitu nyata. Perubahan emosi yang begitu kentara.

~~~

"Beneran Bunda! Aku merasa Kak Nuzka benar-benar nyata." Aku sudah berusaha beberapa kali untuk meyakinkan bunda namun Bunda tidak mau percaya.

"Sudahlah, tidak usah melantur yang tidak-tidak! Sekarang pakai baju seragamnya, terus berangkat sekolah." Titah Bunda. Bunda melanjutkan acara memasaknya.

Sudah lama setelah aku membuka mata dan ternyata berada di rumah sakit, sekarang aku sudah kembali pulang ke rumah. Rumah yang sama dengan yang ada di mimpi ku. Tapi anehnya, Kamar yang di tempati Kak Nuzka dimimpi ku, ternyata saat ini di tempati oleh Gema.

Percaya tidak percaya, aku shock mendengar saat Bunda memperkenalkan Gema pada ku. Gema lahir di Canada 5 tahun yang lalu, dan besar disana. Setelah kejadian aku kecelakaan, Gema memaksa untuk pergi ke Indonesia. Yah, ini baru beberapa hari dia di Indonesia dan masih berusaha beradaptasi dengan bahasa yang ada.

"Bro, can you just sit down and eat you breakfast? You disturb me! (Kak, bisakah kau duduk dan makan sarapan mu? Kau mengganggu ku! )" Oh, tuhan! Dia menyebalkan setengah mati!

"Don't say anything to me! (Jangan katakan apa pun pada ku!)" Bantah ku. Aku kesal dengannya. Enak saja dia bisa memerintah ku seenaknya.

Gema menutup mulutnya dan mempercepat makannya. Anak umur 7 tahun itu selalu saja berlaku seperti dirinya adalah pemimpin di rumah? Hey! Aku lahir lebih awal dari mu!

"Makan lah! Jangan berdebat. Masih pagi sudah berdebat." Titah Ayah.

"Kau baru saja datang. Dan sudah mengatur ku seenaknya." Dumel ku yang masih dapat terdengar oleh Ayah. Bunda sendiri masih menyiapkan susu. Jelas Gema tidak mengerti apa yang aku ucapkan. Dia sedari kecil tidak pernah diajarkan bahasa Indonesia dengan Ayah dan Bunda.

"Raver!"

"Iya, iya." Aku memakan roti buatan Bunda dengan rakus. Ingin aku langsung pergi dari hadapan Gema. Anak itu benar-benar menyebalkan. Padahal di dalam mimpi ku dia begitu manis seperti anak kecil pada umumnya, humph!

"Ini susu mu, Raver." Bunda menyerahkan segelas susu pada ku. Aku langsung saja menegaknya hingga tandas tak tersisa. Setelahnya aku berpamitan pergi ke sekolah.

Ini pertama kalinya aku bersekolah kembali setelah izin beberapa kali akibat kecelakaan waktu itu. Percayalah, saat ini aku sedang dibicarakan oleh banyak murid, termasuk teman sekelas ku.

Saat aku masuk, rasanya begitu asing. Ini, sekolah dasar yang sama dengan yang aku masuki di mimpi. Tapi, entah mengapa rasanya begitu asing. Aku juga tidak mengingat begitu banyak kenangan di kehidupan nyata ini. Rasanya bercampur dengan isi yang berada didalam mimpi ku.

Waktu istirahat berlalu. Aku berjalan menuju kantin sekolah dengan langkah panjang. Aku berseru saat teman-teman mengejar ku.

Oh, aku jadi mengingat Ari dan Anda. Anak itu berjarak 3 tahun dengan ku. Jika saat ini aku kelas 6, maka mereka sekarang sedang kelas 3.

Aku berhenti saat sampai di depan salah satu stand. Aku membeli beberapa makanan. Aku memakan makanan itu sembari memakan bekal ku. Aku menyapu pemandangan kantin yang begitu ramai.

Aku begitu larut dengan pemandangan dihadapan ku hingga seorang anak tidak sengaja menyenggolku.

"Ma-maaf," ucap anak itu. Aku mengedip tak percaya saat melihat baju ku terkena tumpahan es sirup milik anak itu.

"Ga papa." Aku mengambil beberapa tisu dari salah satu penjual makanan dan mengelap baju ku. Astaga! Warnanya tidak hilang.

"Bi-biar aku bantu, Kak." Anak itu tampak ketakutan. Temannya mengejek anak yang ketakutan itu. Aku melihat temannya yang tampak seperti, Ari?

"Kau, Ari, bukan?" Tanya ku. Anak yang sedang mengejek temannya itu membelalakkan matanya tak percaya.

"Gimana Kakak tau?" Aku melebarkan mata ku mendengarnya. Ternyata memang benar.

Aku mengangkat kepala anak yang sedang berusaha membantu membersihkan baju ku. Matanya hijau daun. Aku mengenalnya sangat. "Anda?" Panggil ku. Anak itu semakin ketakutan ketika aku memanggil namanya.

"Ma-maaf, Kak! Jangan pukul Anda! Anda janji bakal bersihin baju Kakak." Rancau anak itu. Aku menganga kaget. Heh, anak itu kenapa malah memohon?

"Hey, hey, jangan takut! Aku ga bakal pukul kamu, kok. Aku cuma mau tanya tentang, Kakak kalian aja." Aku tersenyum begitu lebar hingga bola mata ku tak terlihat. Sepertinya aku mulai mengerti sesuatu.

"Kak Rio sama Kak Sany?" Tanya Ari. Aku mengangguk. "Bagaimana kabar mereka?"

IKRAVERA [Tamat] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang