Ini sudah lima belas kalinya wanita itu memaksa ku untuk menetap disini bersama Ayah dan Bunda. Sebenarnya bagus, ya, aku bisa tenang tanpa dipaksa-paksa sama mak lampir satu ini jika langsung setuju untuk tinggal dengab Ayah dan Bunda.
"Sudah ku bilang engga, ya engga!" Aku mendorong wanita itu menjauh dari kamar ku. Sudah keberapa kalinya aku mengatakan itu orang itu tetap memaksa ku.
Wanita itu menarik tangan ku sedikit lebih kuat membuat ku terpaksa mengangkat hoverboard ku dan menghantamkannya pada wanita itu.
Tapi tangan ku tertahan karena panggilan seseorang.
"RALI!" Teriaknya. Aku menoleh saat mendengarnya. Itu Kak Nuzka.
"K-Kak!" Aku terbata-bata tak percaya. Aku berlari untuk memeluknya yang tentu dibalas pelukan olehnya.
"Kemana saja kau, hah?! Aku mencari mu kemana-mana ternyata kau disini! Kau memang suka dihukum, Rali. Apa aku harus memukul mu agar kau mengerti untuk tidak pergi kemana pun?" Rancau Kak Nuzka. Aku mengeratkan pelukannya enggan untuk melepasnya. Tapi Kak Nuzka sendiri melepaskan pelukannya.
Air mata mengalir dari mata ku. Aku mengusapnya sembari terkekeh. "Kau jahat, Kak! Aku tidak suka dihukum atau pun dipukul." Jawab ku.
Aku menarik Kak Nuzka ke depan pintu kamar. Wanita itu melotot pada ku kesal.
"What do you want from my brother?" Tanya Kak Nuzka pada wanita itu. Wanita itu maju dengan berani. "I don't want anything from your brother. His mom and dad wanted him to stay here with them." Jawab wanita itu.
"And then?"
"And your brother didn't want to live here with his parents because of you." Lanjut wanita itu. Kak Nuzka mengangguk mengerti mendengarnya. "We want to meet them now. Can we?" Pintanya. Wanita itu mengangguk lalu menyuruh ku untuk mengemasi barang-barang ku.
"Hug me!" Pinta ku pada Kak Nuzka yang tengah beristirahat. Kak Nuzka mengangguk lalu mempersilahkan aku untuk mendekat. Aku merindukan pelukan ini sepanjang jagat.
"Gimana Kak Nuzka bisa menemukan ku?" Tanya ku. Kak Nuzka mengabsen setiap helai rambut ku. "Kau menghilang. Aku mendengar kabar mu saat ada yang mengatakan bahwa seseorang membawa mu ke bandara. Aku lalu bergegas mencari informasi tentang mu yang ternyata kau pergi ke luar negeri. Hingga akhirnya ku memakai seluruh tabungan ku untuk pergi ke sini." Mata Kak Nuzka tampak redup. Aku dapat melihatnya dengan jelas.
"Every hour i am with you, now i feel so lost."
"Sorry."
"It's okay."
"Sekarang ayo kita pergi." Aku mengangguk. Aku menggendong tas sekolah ku sampai akhirnya wanita itu datang kembali untuk membantu ku.
~~~
"Seumur hidup aku baru datang kesini." Aku menatap rumah megah milik Ayah dan Bunda yang berbeda jauh dengan rumah kami yang ada di Indonesia.
Aku menatap Kak Nuzka meminta kepastian, tapi Kakak hanya diam. "Ayo masuk!" Ajak Kak Nuzka setelahnya.
Seorang pembantu dengan pakaian berseragam menyambut kami. Aku mengangguk kecil lalu melewatinya. Searah dengan jalan ku, terlihat Bunda bersama dengan seorang anak kecil yang tampak kegirangan saat bertemu kami.
"Itu siapa?" Tanya Kak Nuzka kebingungan. Aku terkekeh kecil. "Adik kita." Jawab ku. Kentara jelas alis Kak Nuzka saling bertaut karena bingung.
"Adik!?" Aku mengangguk. Wanita itu pernah mengatakan sesuatu tentang adik. Dan ku pikir itu hanya omong kosong.
Bunda merentangkan tangannya menyambut ku. Jelas aku menerimanya dengan senang hati. "Akhirnya kau disini, Nak! Ayo tinggal di sini dengan Ayah dan Bunda. Sekolahnya bisa kau lanjutkan di sini," kata Bunda.
"Kak Nuzka juga, kan, Bunda?"
"Nuzka harus selesaikan pendidikannya di sana. Nanti dia menyusul." Jawab Bunda. Aku menggeleng tidak mau.
"Kalau Kak Nuzka ga tinggal di sini juga, aku ga mau. Aku mau sama Kak Nuzka." Tolak ku.
Kak Nuzka menatap Bunda dengan tatapan aneh. Sungguh, itu tatapan. Paling lancang yang pernah diberikan olehnya.
"Bunda mengatakan kalau Raver menghilang. Nyatanya Bunda sendiri yang membawanya ke sini," Kak Nuzka menatap tajam Bunda. Ini pertama kalinya, ia melakukan itu pada Bunda.
"Kenapa, Kak?" Tanya ku. Kak Nuzka mengendikkan bahunya meninggalkan Bunda. Aku linglung. Aku bergegas ingin mengikutinya, tapi Bunda menahan ku.
"Tinggallah di sini." Pinta Bunda. Aku menggeleng tidak mau. Aku tidak ingin tinggal tanpa Kak Nuzka. "Kak! Tunggu aku!"
Samar-samar dapat ku dengar suara anak kecil. "Mom, doesn't my brother want to live with me?"
"No, he just...," Aku berbalik badan sejenak. Dapat ku lihat Bunda tersenyum. Aku menuju ke arah anak kecil itu lalu mengusak wajahnya.
"What's your name?" Tanya ku. "Gema!" Jawab anak itu riang. Matanya tampak bercahaya senang.
"Gema, listen to me. I just want to live with my big bro in Indonesia. Not because of you. Got it? If you want to live with me, you ask your mom to take you to Indonesia and live there." Aku mengusak rambut anak itu gemas. Anak itu tampak seperti anak umur 10 tahunan. Aku tak percaya Bunda tidak memberitahu ku selama ini.
"I Understand, Big Bro!" Aku tertawa mendengarnya. Lucu sekali. "Good! See you again!" Aku melambaikan tangan lalu pergi dari sana. Anak itu mencak-mencak kegirangan. Sungguh, aku tidak tega dengan anak itu.
"Kak Nuzka! Tunggu." Aku mengejar Kak Nuzka yang sudah memesan taxi. Aku ikut masuk saat dirinya juga masuk ke dalam mobil. Aku, tidak ingin berpisah dengannya.
"Aku tau kau akan mengejar ku." Kak Nuzka mengusak rambut ku sayang. Aku tersenyum bahagia akhirnya bertemu dengan Kak Nuzka.
"Baguslah kalau kau tau. Kalau begitu, kau juga tau kalau aku menyayangimu." Bisik ku sembari memeluk tangannya. Katakan saja aku seperti anak kecil yang haus akan perhatian dan kasih sayang, aku tidak peduli.
Harapan ku cuma satu. Menghabiskan waktu bersama Kak Nuzka dan senyumannya adalah impian ku selama ini.
"Kita akan tetap di Indonesia sampai kau lulus. Setelahnya, kau akan kembali ke sini dan tinggal bersama Ayah dan Bunda."
"Hanya aku?"
"Hm. Aku akan memiliki kehidupan sendiri di luar sana." Jawabnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
IKRAVERA [Tamat] ✓
RandomHalilintar as Nuzka. Taufan as Raver. Ini tentang Raver. Betapa sayangnya Raver dengan Kakaknya, Nuzka. Cover by Deviantart : @ashouji