10•

127 27 12
                                    

Kora berjalan perlahan mendekati kekasihnya yang saat ini tengah menyendiri, duduk di atas bongkahan batu besar pinggir sungai.

Pemuda manis tersebut tahu betul bahwa bahu yang sedikit bergetar itu pasti tengah mencoba meluapkan tangisnya atas apa yang mengganjal di dalam hatinya.

Sentuhan lembut membuat Chisatt sedikit terperanjat. Namun ketika bau tubuh Kora yang tercium di hidungnya, Alpha tampan itu hanya menanggapi dengan menghapus jejak air matanya.

Walau bagaimanapun dirinya tak ingin terlihat lemah di hadapan kekasihnya.

" Menangis saja, Aku yakin kau masih belum puas menangis." suara lembut Kora meyakinkan kalau tak apa untuk pimpinan pack itu menangis saat ini

" Siapa yang bilang aku menangis?" elak Chisatt cepat

Kora tersenyum tipis dan terlihat begitu manis. Tangannya meraih kepala sang kekasih dan menenggelamkannya pada dadanya, detik itu juga tangis yang terhenti kembali terdengar.

" Menangis saja. Hari ini aku pinjamkan tubuhku untuk menutupi kelemahanmu."

Sebagai seorang pemimpin, Chisatt tak boleh menunjukkan kelemahannya pada orang lain.

Alpha muda itu selalu berusaha menjadi pemimpin yang dapat diandalkan juga tanpa celah agar bisa melindungi seluruh kawanan packnya.

Ayah dan adiknya menjadi prioritas utama yang selalu dirinya unggulkan dibanding yang lain, sesuai amanat mendiang ibunya sebelum meninggalkan dunia ini.

Ketidakmampuan sang ayah karena kehilangan pijakannya juga kelahiran adik mungilnya, membawa beban juga kebahagiaan bagi Chisatt.

Dan sekarang ada badai besar yang sedang datang dan mengacaukan kehidupan adik kecilnya.

Chisatt merasa sudah kalah oleh takdir. Karena takdir itulah yang menggariskan sesuatu untuk Phugun lalui dengan penuh rintangan.

Adik kecil yang selalu dia jaga kini tengah berada pada ambang kehidupannya. Entah itu kehancuran atau kebahagiaan, Chisatt tak yakin saat ini.

Apa yang terbaik atau terburuk pun semua seolah semu untuk coba dipilih.

" Mungkin takdir begitu menyayangi Phu,"

Chisatt mendongak dan melihat wajah kekasihnya. Mereka sudah bersama sedari kecil, tak ada yang lebih mengenal Chisatt dibanding Kora begitupun sebaliknya. Tak hanya Chisatt yang menyayangi Phugun begitu besar, Kora juga menganggap Phugun sebagai adik kecilnya yang menggemaskan.


" Aku yakin Phu akan menemukan akhir yang indah. Sekarang tugasmu hanya memastikan kalau adik kecil kita akan meraih akhir bahagia tersebut. Hngm??"

Chisatt mencerna ucapan sang kekasih. Benar apa yang dikatakan Kora. Kalau takdir memang sudah memilih jalan bagi Phugun dengan sedikit guncangan hebat, maka Chisatt akan memastikan akhir yang bahagia untuk adiknya tersebut.

" Hng. Terima kasih, Aku mencintaimu."

" Sayangnya aku tidak. Aku tak mau memiliki pasangan yang suka sekali menangis. Hii.. Mau jadi apa nanti anakku???" ejek Kora dan hal itu mengundang serangan gelitik dari Chisatt

" Tentu dia akan jadi pemimpin yang tampan sepertiku."

" Hahahaha... Ampun,"

Tangis beberapa waktu lalu sudah terganti oleh tawa yang beriringan dengan suara gemericik air.







°°°







Phugun berdiri di depan jendela kamarnya. Tubuhnya masih terasa begitu lemas tak bertenaga. Rasa haus juga masih mendominasi tenggorokannya.

Curse of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang