16. Kawasan Razor

122 67 309
                                    

Senyap. Kini, mereka semua tengah mendengarkan perkataan Biru dengan saksama.

Nila akhirnya memberanikan diri untuk membuka suara, "Lalu, sekarang kita harus apa?"

"Hijau dan Oranye! Kita harus menyelamatkan mereka, mereka jelas sedang dijebak," seru Merah sembari berdiri dari tempat duduknya.

"Tapi bagaimana? Kita sendiri bahkan tidak tahu keberadaan mereka."
Ucapan Kuning barusan memadamkan semangat Merah yang membara, ia kembali terduduk.

Biru seperti biasa, memandangi sekitar dan mencoba menemukan jalan keluar dari tempat ia dan teman-temannya merenung sekarang. Sedikit ada yang janggal bagi Biru.

"Rumput-rumput di sini terlihat telah dilewati oleh seseorang, apakah itu mereka?" ucap Biru, masih melihat-lihat.

Biru mengambil gawai dan kapsul dari tas ranselnya. "Ah, kenapa ini tidak berfungsi?"

Gawai itu tidak kunjung hidup, kapsul terbang yang ia kecilkan tadi juga tida menampakkan tanda-tanda akan kembali pada bentuk awalnya. Benda-benda itu teronggok biru.

Jingga turut prihatin melihatnya. "Kita sudah berada di luar Kawasan Netral Gelap. Sepertinya teknologi tidak lagi berfungsi di sini. Kawasan apa ini?"

Mendengar selintas pertanyaan Jingga, Ungu teringat sesuatu. "Razor! Aku ingat sekarang. Saat itu Kelabu mengatakan bahwa Hijau dan Oranye akan dibawa dan dijebak ke Kawasan Razor!"

"Itu buruk. Kawasan itu berbahaya sekali, kita harus bergegas. Ikuti saja bekas tapak kuda-kuda ini." Jingga lantas berdiri dan memimpin rombongan.

***

Tanah di hutan itu lembap, memperlihatkan bekas tapak kuda-kuda dengan jelas. Mereka mengikuti itu sebagai petunjuk awal.

Tidak ada percakapan sejauh perjalanan, sampai akhirnya Nila berdehem, "Bisakah kita istirahat sejenak, aku mulai lelah."

Warna-warna lain mengangguk dan mulai duduk pada tanah yang mereka injak sebagai jawaban dari permintaan Nila.

"Kenapa hutan ini senyap sekali?" Merah melongokkan kepalanya ke kiri dan kanan, lalu ikut duduk bersama yang lain.

"Semakin senyap maka semakin berbahaya." Biru duduk bersandar pada sebuah batang pohon.

Jingga terlihat sedang mematahkan salah satu batang pohon bambu. "Ini, konsumsi ini saja dulu untuk sementara."

Satu per satu dari mereka mengambil patahan batang bambu yang telah dipatahkan oleh Jingga.

Bambu itu mengeluarkan air yang dapat menghilangkan sedikit rasa dahaga mereka, sekaligus sebagai penambah energi.

"Apakah tujuan kita masih jauh?" tanya Kuning, ia menyenderkan kepalanya pada bahu Merah. Sebaliknya, Merah mendorong kepala Kuning untuk menjauh.

Helaan napas terdengar dari arah Biru, ia mengangkat bahunya. "Satu-satunya yang dapat dilakukan hanyalah mengikuti jejak tapak kuda-kuda itu, ayo kita lanjutkan perjalanan."

Disaat mereka beranjak berdiri ingin kembali berjalan menuju Kawasan Razor, tiba-tiba saja tanah yang mereka injak terasa bergerak. Ekspresi waspada bercampur panik telah terpampang jelas pada wajah warna-warna itu.

"Kenapa? Apa yang terjadi?" Ungu berseru, ia berlari ke sisi lain untuk menyelamatkan diri.

Perlahan, tanah itu makin lama membentuk sebuah rupa layaknya raksasa. Membesar dan terus membesar hingga akhirnya raksasa itu menggeram, "Siapa kalian? Apa yang kalian lakukan di kawasan ini?!"

Jingga menunduk dalam. "Wahai penjaga kawasan Yang Agung, kami memohon izin mu untuk memasuki kawasan ini," kalimatnya terhenti.

"Teman kami telah dibawa ke mari dengan tipu muslihat. Kami perlu menyelamatkan mereka," lanjut Jingga, suaranya terdengar bergetar.

Jingga menangis? Itulah satu pertanyaan yang muncul dipikiran warna-warna lain secara bersamaan. Mereka semua menatap heran Jingga. Mereka yang telah berteman lama dengan Hijau dan Oranye, mengapa malah Jingga yang menangis?

Tetapi kabar baiknya, ekspresi raksasa itu juga berubah menjadi sendu saat mendengar kalimat Jingga. Aduh, suasana tiba-tiba berubah menjadi melankolis begini.

"Baiklah, selamatkan teman-teman kalian itu! Kalian boleh memasuki kawasan ini." Setelah mempersilahkan para warna untuk masuk, raksasa itu kembali pada bentuk semuanya, yaitu tanah.

"Ya, kita telah memasuki Kawasan Razor, semuanya." Jingga membenarkan posturnya.

"Apa kamu tidak sedih lagi, tuan?" tanya Nila dengan bisikan, takut jikalau raksasa tadi kembali muncul.

Kekehan geli dilontarkan oleh Jingga, "Aku tidak benar-benar menangis. Aku juga pernah menjelajah seperti kalian juga, tahu? Raksasa itu memang memiliki sifat sentimental yang lumayan tinggi, mudah saja lolos darinya."

Biru menatap Jingga dengan tatapan kagum. "Anda terlihat sangat berpengalaman."

Tak berlangsung lama setelah mereka melewati setiap jengkal kawasan itu, tiba-tiba saja terdengar sebuah suara.

"Tolong! Tolong kami!"
Samar, tetapi teriakan itu cukup jelas untuk ditangkap oleh pendengaran para warna. Hijau? Oranye? Apakah itu suara mereka?

***

Hiruk Pikuk WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang