03. Pulau Anantara

166 99 217
                                    

Di lorong-lorong kelas, tampak Nila sedang menuju ke ruang guru sembari membawa kertas-kertas ditangannya.

"Aduh!" Nila terduduk di lantai, membuat kertas-kertas di tangannya berterbangan tak tentu arah.
"Maaf Nila, maaf!" Itu adalah Oranye yang menyenggol Nila sampai ia terduduk.

Oranye terlihat sedang terburu-buru sehingga tak sempat menghentikan langkahnya.
"Ini botolmu-" Nila menatap lamat-lamat botol itu.
'Ini botol apa?' batinnya.

Nila menyelipkan botol itu pada ikat pinggangnya, akan mengembalikannya nanti pikir Nila. Ia membereskan kembali kertas-kertasnya dan melanjutkan langkah yang sempat terhenti tadi.

***

Oranye sedang terengah-engah di kamarnya, ia merogoh saku celananya dengan cepat tapi gerakan tangannya terhenti tiba-tiba. Kosong. Ia merogoh saku celananya yang satu lagi, tetap kosong.

"Dimana botol itu? Dimana aku menjatuhkannya? Sial!" cibir Oranye. Ia menghempaskan diri di kasur, masih terengah-engah.

Tiba-tiba saja pintu terbuka dan menunjukkan sosok Kuning.
"Kau baik?" Kuning ikut berbaring disamping kembarannya itu.
"Ah! Ketuk lah pintu sebelum masuk!"
Kuning mengangkat bahunya dan menatap langit-langit kamar Oranye.

Sejenak keduanya diam.
Kuning beralih menatap Oranye. "Apakah benar yang dikatakan oleh Ungu?"
"Memangnya Ungu mengatakan apa?" Oranye bertanya balik.

"Ungu mengatakan bahwa kamu tadi di gudang sedang menyembunyikan sesuatu, sesuatu apa itu?"
Oranye mendengus kesal. "Bukan urusan mu!"
Kuning kembali terdiam. 'Selalu saja begini.'

***

Nila kembali ke kamarnya setelah berurusan dengan guru tadi.
"Ungu? Sedang apa kamu disini?" Betapa terkejutnya Nila menemukan Ungu di kamarnya.

Ungu menolehkan kepalanya kearah Nila. "Aku ingin memberitahumu sesuatu-" perkataannya terhenti saat ia melihat botol pada selipan ikat pinggang Nila, Ungu dengan cepat menyambar botol itu.

"Botol ini! Bagaimana kamu mendapatkannya?!" Ungu bertanya dengan antusias.
"Botol itu milik Oranye, ia menjatuhkannya tadi. Aku akan mengembalikannya segera," jawab Nila.

Ungu tidak menghiraukan jawaban Nila, ia dengan segera membuka botol itu dan mengambil selarik kertas didalamnya.
"Hei! Itu bukan milikmu!"

Ungu sekali lagi tidak menghiraukan Nila, ia perlahan membuka kertas usang itu. Kertas usang itu melampirkan sebuah puisi.
"Puisi apa ini?" Ungu menatap kesal kertas uang itu dan disisi lain Nila menatap heran.

Kota paling ramai oleh penduduk
Terbentang hutan disebelah barat
Hutan merendam suara kota hiruk
Pergilah genggam tangan dengan erat

Terdapat pulau dengan swatimita
Serta isi yang amat berbeda
Datanglah bersama mereka
Mereka yang setia membela

‹‹Catatan lama,
Pulau Anantara, 1600 Masehi››

***

Hiruk Pikuk WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang