10. Paradoks

153 102 226
                                    

Merah menghela napas dengan berat. "Huft, kenapa hanya para warna lelaki yang diperbolehkan bertarung?" keluhannya berterus terang.

Tepat di sebelah Merah yang sedang duduk meringkuk, Nila dan Kuning bersama dengan para pelayan kerajaan terlihat sedang bersenang-senang membuat rangkaian bunga.

"Oh! Lihatlah betapa indahnya ini!" Kuning melihat rangkaian bunga yang dibuat oleh Nila dan mengangguk setuju. "Sangat indah!"

Mereka benar-benar memberikan kesan paradoks bagi siapa saja yang melihatnya.

Ungu yang baru saja datang, langsung menghampiri Merah yang terlihat murung itu.
"Hei Ungu! Apa yang sedang kau bicarakan dengan si Kelabu itu? Sampai-sampai kau tega meninggalkanku dengan mereka berdua!" Merah bertanya lesu.

"Eh? Bukan apa-apa ...," Ungu menjawab dengan canggung, ia mendudukkan dirinya di sebelah Merah. "... omong-omong, pemandangan di sini indah sekali bukan?" lanjut Ungu.

Ada benarnya juga, walaupun mereka harus mendengarkan cekikikan ribut  yang diciptakan oleh Nila dan Kuning, pemandangan sebagus ini cukup untuk membayar itu semua.

Kini mereka sedang berada di taman belakang kerajaan. Taman itu penuh dengan bunga-bunga yang bermekaran, rumput yang bergoyang karena hembusan angin dan aliran sungai buatan yang terasa sangat sejuk.

Namun kalian jangan sampai lupa, kawasan itu tetaplah gelap, suram, dan pucat.
"Kau tidak bergabung dengan mereka?" celetuk Ungu pada Merah.

Merah tiba-tiba saja mencubit paha Ungu. "Coba saja katakan itu lagi."
Ungu tertawa puas mendengar ancaman itu.

***

Di sisi lain, hanya Hijau dan Oranye yang tinggal di ruang yang penuh dengan persenjataan itu.

Bagaimana dengan putih? Dia adalah warna netral, dia tidak akan mencampuri dirinya untuk kebaikan maupun keburukan, sudah menjadi prinsip warna-warna netral terang.

"Kenapa kalian hanya diam di sana? Silahkan pilih senjata apa saya yang menurut kalian layak untuk kalian gunakan saat bertarung nanti," Raja dengan ramah mempersilahkan.

"Hanya saja ... kami benar-benar tidak tahu menahu apapun dan bagaimanapun tentang bertarung, Yang Mulia." Oranye mengatakan yang sebenarnya.

Bagaimana tidak? Walaupun di akademi mereka menyediakan berbagai ekstrakurikuler seperti berkuda, memanah, anggar, dan banyak lagi.

Tetapi mereka berdua bahkan tidak memilih salah satu dari banyaknya pilihan yang disediakan itu.

Lantas, apa yang mereka pilih? Oranye yang lebih memilih untuk berkutat dengan buku-buku fiksinya dan Hijau yang lebih memilih untuk bersatu dengan alam melalui gerakan-gerakan yoga nya.

Jangankan untuk memenangkan pertarungan, menjitak kepala mereka berdua saja sudah cukup untuk membuat mereka menangis sesenggukan.

Apa boleh dikata? Nasi telah menjadi bubur. Melihat wajah dua warna itu tertekuk, Raja menjadi ikut frustasi dan turut memikirkan cara lain yang lebih efisien.

"Nah! Begini, karena hari di mana kita akan bertarung itu masih lama, aku akan meminta seseorang yang ahli untuk mengajari kalian." Raja segera pergi dari ruangan itu untuk memanggil seseorang yang ia maksud.

Hijau dan Oranye hanya saling pandang. "Bisakah kau menjamin bahwa kita masih hidup setelah pertarungan itu?" Hijau masih menatap Oranye.

Yang ditatap hanya membuang mukanya dan menghela napas. "Tidak."
Oranye melangkah pergi dari ruangan yang dipenuhi sesak oleh benda-benda berbahaya itu, langkahnya diikuti oleh Hijau.

***

Hiruk Pikuk WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang