14. Kilas Balik (I)

143 79 351
                                    

Jawabannya adalah iya, tetapi tidak sekarang. Saat ini, satu detik saja sangat berharga bagi mereka. Mereka harus pergi dari istana megah itu, segera!

Biru terlihat sedang merogoh koceknya, mengeluarkan sesuatu. Ia mengeluarkan sebuah benda kecil yang akan meledak ketika dilemparkan ke tengah ruangan.

Benda itu mengepulkan asap, membuat penglihatan buta untuk sementara waktu bagi siapapun yang berada di sana. Disaat itulah, Biru bersama dengan Jingga cekatan menarik warna-warna tanggung itu keluar dari ruangan.

"Tunggu! Ungu tertinggal!" seru Nila, ia tidak berpikir dua kali. Nila langsung menarik tangan Ungu dan membawanya bersama rombongan yang sedang berusaha keluar dari istana itu.

Beribu langkah yang ditempuh, akhirnya mereka telah meninggalkan istana itu jauh sekali. Bagaimana tidak? Yang mereka lakukan dari tadi hanyalah berlari dan terus berlari, tidak peduli apa yang akan mereka hadapi di depan sana.

Biru terengah-engah, berusaha mengatur pernapasannya. "BERHENTI! Apa mereka mengejar kita?"

"Sepertinya tidak, atau entahlah, kita saja yang terlalu panik dan berlari entah ke mana," jawab Merah yang langsung tersungkur lepas ke bawah.

***

Setelah mengatur napas mereka masing-masing, kini semuanya sedang duduk menjiplak di atas tanah lembab pada sebuah hamparan hutan yang luas. Sejauh mata memandang, hanya pepohonan dan semak belukar yang dapat ditangkap oleh penglihatan mereka.

Terdengar isak tangis yang berasal dari Ungu, "Maafkan aku teman-teman, seharusnya aku lebih berani menolak dan membuat rencana yang lebih baik. Semua ini salahku ..."

Kuning menepuk-nepuk pundak Ungu. "Sudahlah, tidak ada gunanya menyalahkan diri sendiri. Kami juga akan melakukan hal yang sama jika berada di posisi mu."

Perkataan Kuning mendapatkan anggukan setuju dari yang lain, ikut menatap Ungu dengan iba.

"Putih! Dia jelas pengkhianatnya! Menerima tawaran Kelabu tanpa berpikir dulu! Syukurlah ia tidak mengikuti kita sampai ke sini," ucap Merah dengan amarahnya yang menggebu-gebu.

Nila menatap Biru dan Jingga bersamaan, tatapan heran. "Kalian kenapa bisa ada di sini? Bagaimana kalian menemukan kami?"

"Biar aku yang menceritakannya." Biru memperbaiki posisi duduknya menjadi lebih santai.

***

Biru berdiri di halaman depan Academy mereka, melihat teman-temannya yang berangsur hilang bersama dengan mobil karavan yang telah ia rancang sedemikian rupa.

Biru sendiri memang terkenal sebagai salah satu murid paling pintar di Colors Academy, tetapi karena itu pula orang-orang menganggapnya sebagai kutu buku. Walaupun begitu, ia tetaplah seorang teman bagi warna-warna tanggung itu.

Beberapa jam setelah teman-temannya meninggalkan Academy, Biru beranjak dari buku bacaan yang telah ia baca sedari tadi, mengingat ada suatu hal yang harus dicek.

Langkah kaki Biru terhenti di laboratorium komputer, ia duduk di depan salah satu komputer dan menghidupkan layar monitornya.

Layar iyu menampilkan pergerakan mobil karavan yang dikendarai teman-temannya, ia memasang GPS pada mobil itu.

Sejauh ini aman, mereka telah tiba di Kota Krasner, lantas memberhentikan mobil karavan itu tepat di depan sebuah restoran pusat kota itu, untuk sarapan sepertinya? Mengingat itu, Biru lupa bahwa dirinya sendiri belum sarapan.

Lengang, ruang makan itu terasa sepi sekali, tak seperti biasanya. Di tempat inilah ia dan Oranye sering bertengkar, membuat keributan pada pagi buta. Secarik kenangan itu membuat Biru terkekeh pelan, lantas segera menghabiskan makanannya.

Setelah jeda untuk sarapan, Biru terus berkutat pada latar monitornya kembali, semua berjalan dengan lancar. Sampai malam pun tiba, hal yang janggal menarik perhatian Biru.

Mobil karavan yang sedari tadi ia pantau, hanya diam mematung sejak siang sampai dengan malam ini. Mobil itu terlihat sedang membisu di pinggir hutan sebelah barat Kota Krasner.

Awalnya, Biru berpikir bahwa teman-temannya akan mencari harta karun di hutan itu dan akan segera kembali, namun sampai saat ini tidak ada tanda-tanda pergerakan dari mereka.

Biru tidak pikir panjang, ia langsung membawa perlengkapan yang ia rasa perlu. Lalu menaiki kapsul terbang yang juga dibuat olehnya jauh-jauh hari sebelum mobil karavan itu dibuat.

Kapsul terbang sendiri hanya akan digunakannya untuk keadaan darurat seperti sekarang ini. Masa bodoh dengan malam yang semakin larut. Kapsul terbang mulai bergerak ke atas dan menerjang langit malam yang gelap dengan gagah.

Biru sejatinya adalah seorang teman yang peduli, hanya saja ia tidak mau menunjukkan emosi itu pada mereka secara terang-terangan.

***

Sesampainya Biru di Kota Krasner, hal pertama yang ia kunjungi bukanlah hutan itu melainkan restoran pusat, pemberhentian pertama teman-temannya.

Biru mengetuk pintu restoran yang jelas-jelas sudah ada tulisan 'tutup' yang menggantung di sana.
"Permisi, apakah ada orang?" Biru terus mengetuk-ngetuk pintu itu.

Tak lama kemudian munculah seorang pelayan yang masih memakai seragam pelayannya membuka pintu untuk Biru. "Hei, apakah kamu tidak bisa membaca? Di sini tertera tulisan 'tutup', untuk apalagi kamu terus mengetuk-ngetuk pintu?"

"Maaf tentang itu, apakah tadi pagi tuan ingat bertemu dengan warna-warna yang seukuran denganku?" Biru sedikit menundukkan kepalanya, tanda meminta maaf.

"Ah, warna-warna yang ingin pergi ke Pulau Anantara itu? Ya, aku ingat," jawab pelayan itu.

"Apakah ada sesuatu yang tuan beri atau tuan katakan pada mereka?" tanya Biru, sedikit lega dengan fakta bahwa pelayan di hadapan Biru ini mengingat baik teman-temannya.

"Aku hanya menginginkan mereka betapa berbahayanya perjalanan ke pulau itu dan juga menyerahkan kartu namaku, memangnya ada apa?" pelayan kembali menjawab.

"Aku kehilangan jejak mereka ..., baiklah! Terima kasih atas jawabannya, tuan." Biru hendak pergi kembali ke dalam kapsul dan melanjutkan pencariannya.

Pelayan itu lebih dulu mencegat Biru. "Tunggu! Tolong biarkan aku ikut."

Pelayan dengan gesit menuliskan catatan untuk pelayan lainnya yang akan mendapatkan giliran bekerja mereka besok, bahwa kunci restoran itu ada di bawah pot bunga.

Biru menerima permintaan pelayan dengan kikuk, "Oh, baiklah."

"Namaku Jingga, anak muda di depanku ini sudah pasti bernama Biru, bukan?" Jingga tertawa renyah sebelum meraih tangan Biru untuk berjabat. Biru sendiri hanya mengangguk mengiyakan.

***

Hiruk Pikuk WarnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang