Bab 12: Aku Benci Perasaanku

19 4 0
                                    

Adam:

Aku duduk di sudut ruang kerja, menatap latte panas tanpa benar-benar melihat apa yang ada di depanku. Kepalaku penuh dengan pikiran tentang Asya. Perasaanku campur aduk, marah, bingung, dan merasa tak berdaya. Sudah beberapa hari ini aku merasa seperti seorang backburner, seseorang yang hanya dijadikan pelampiasan ketika tidak ada orang lain di sekitar.

Asya, dengan segala pesonanya, telah menarik hatiku sejak lama. Namun, hubunganku dengan dia selalu terasa ambigu. Kami berbagi tawa dan cerita, namun entah mengapa selalu ada jarak yang tak terlihat di antara kami. Saat dia mengaku menyukaiku, aku sempat merasa dunia ini memberiku harapan. Tapi kemudian, Dani menceritakan hal yang tidak terduga.

Dani, sahabat terbaikku sekaligus teman kerja, memberitahuku bahwa Asya pernah mengungkapkan perasaannya padanya di hari ulang tahunnya. Betapa kagetnya aku saat mendengar itu. Kenapa Asya tidak pernah memberitahuku? Apakah aku hanya sekedar pelarian baginya setelah ditolak oleh Dani?

Pikiran-pikiran itu membuatku marah. Aku marah pada Asya, marah pada Dani, tapi yang paling aku benci adalah perasaan marah pada diriku sendiri karena masih merindukan Asya.

Sore itu, seperti biasanya, aku menunggu pesan dari Asya di Instagram. Tapi kali ini, aku memutuskan untuk tidak meresponsnya. Aku melihat notifikasinya, pesan sederhana menanyakan kabarku, tapi aku tidak punya tenaga untuk menjawabnya. Aku merasa terlalu marah dan kecewa. Aku mematikan notifikasi dari Asya di Instagram, berusaha melawan rasa rinduku dengan rasa marah dan ego yang kian menguat.

Pekerjaan di tempat kerja terasa lebih berat dari biasanya. Aku mencoba fokus, tapi pikiranku terus melayang ke Asya. Aku ingin mengabaikannya, tapi bayangannya selalu menghantuiku. Dani mencoba berbicara denganku, tapi aku hanya menjawab seadanya. Dia pasti menyadari perubahan sikapku, tapi aku tidak peduli.

Hari semakin larut, dan saatnya aku pulang. Kafe sudah mulai sepi, hanya ada beberapa pelanggan yang masih duduk menikmati minuman mereka. Aku merapikan meja dan bersiap untuk meninggalkan kafe. Saat itulah ponselku bergetar. Ada nomor tidak dikenal yang menghubungiku melalui WhatsApp.

Aku ragu sejenak sebelum membuka pesan itu. "Hai Adam, ini Asya. Bagaimana kabarmu? Aku khawatir karena biasanya kamu menghubungiku tapi hari ini tidak ada kabar darimu. Semoga semuanya baik-baik saja."

Sekali lagi, rasa marah dan rinduku beradu dalam dadaku. Aku menutup mata, mencoba mengendalikan emosiku yang meluap-luap. Haruskah aku mengabaikan pesannya? Ataukah aku harus merespons dan mengungkapkan segala kekesalanku?

Akhirnya, setelah beberapa menit terdiam, aku memutuskan untuk merespons. Aku mengetik dengan cepat, melepaskan sebagian dari rasa marah yang tertahan.

"Hai Asya, maaf aku tidak menghubungimu hari ini. Aku sedang ada masalah di tempat kerja dan rasanya berat untuk berbagi. Tapi, terima kasih karena sudah peduli. Aku baik-baik saja, hanya butuh waktu untuk menyelesaikan semuanya."

Aku tahu jawabanku terlalu dingin, tapi aku tidak bisa menulis lebih dari itu. Perasaanku terlalu kacau. Aku menunggu beberapa saat, berharap Asya akan mengerti dan tidak menekanku lebih jauh. Namun, rasa rinduku padanya masih begitu kuat.

Asya membalas cepat. "Aku mengerti, Adam. Kalau ada yang bisa kubantu, beritahu saja ya. Aku selalu ada untukmu."

Pesan itu membuat hatiku sedikit lebih tenang, namun tidak menghilangkan rasa marah dan kecewaku sepenuhnya. Aku tahu Asya bermaksud baik, tapi aku masih belum bisa menerima kenyataan bahwa aku mungkin hanya menjadi pelampiasannya setelah Dani.

Selama perjalanan pulang, pikiranku terus bergelut dengan perasaan yang saling bertentangan. Aku mencoba mengingat momen-momen indah bersama Asya, tawa kami, cerita-cerita ringan di kafe, dan bagaimana dia selalu bisa membuatku merasa lebih baik. Tapi kemudian, bayangan pengakuannya pada Dani kembali menghantuiku.

I Love My Self In Another UniverseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang